Jejeran rumah dan jalan perlahan semakin mengecil hingga akhirnya hilang ditelan birunya langit. Pemandangan tak biasa yang pertama kalinya kusaksikan seumur hidupku.Â
Ya, pemandangan dari jendela pesat. Ya, hari itu 12 Juni 2014 adalah kali pertama aku naik pesawat. Aku terbang Bersama 42 guru SMA lainnya se-Jawa Barat untuk mengikuti Continuous Professional Development di Adelaide South Australia.
Segera terbayang wajah almarhum bapak, ayah yang sangat aku hormati. "Pak, maafkan Teteh. Hari ini lagi-lagi Teteh tidak menuruti perintah Bapak" batinku. Bapak melarangku untuk naik kapal laut maupun pesawat terbang. Ia sangat khawatir terjadi sesuatu saat dalam perjalanan.Â
Kekhawatirannya mungkin berlebihan, namun hal itu tentu saja terbentuk dari pola asuh ibunya. Ya, pola asuh nenekku. Ditinggal wafat sejak bayi oleh ayahnya Bapak diasuh overprotektif oleh ibunya. Ia bahkan dilarang bermain bola karena khawatir akan mengakibatkan patah kaki.Â
Jika dipikirkan kembali, apa pun yang kita lakukan di dunia ini tentu saja memiliki resiko. Oleh sebab itu, mitigasi resiko diperlukan namun bukan berarti menghalangi kita untuk bergerak.
Hari itu, ingin kukatakan kepada bapak "Pak, terima kasih banyak atas kasih sayang dan cinta yang begitu besar. Naik pesawat suatu saat justru diperlukan untuk menuntut ilmu. Ilmu harus terus dicari seperti amanat Bapak kepada kami setiap saat". Ah, durhakakah aku berkata seperti itu? Aku yakin tidak. Bapak bukan seorang otoriter di rumah namun semua harus dibicarakan pelan-pelan. Dulu saat kuliah, aku pernah juga melanggar amanat Bapak.Â
Aku terpaksa menggunakan perahu untuk menyebrangi muara saat mengikuti kuliah lapangan sebagai mahasiswa Biologi. Jurusan Pendidikan Biologi, adalah jurusan yang bapak pilihkan untukku. "Pak, maafkan Teteh. Teteh melanggar janji ke Bapak sebelum berangkat kuliah lapangan.Â
Di tempat kulap kemarin Teteh naik perahu untuk menyebrangi muara soalnya gak ada pilihan lain" ucapku lirih pada bapak. "Gak apa-apa Teh. Alhamdulillah Teteh sudah pulang dengan selamat" bapakku menimpali.
Hari itu 12 Juni 2014 dengan izin suami juga ibuku, aku memberanikan diri menumpang pesawat untuk berguru ilmu keguruan di Negeri Kanguru selama tiga minggu. Kalaupun almarhum bapak masih ada, ia mungkin akan meralat larangannya. Tentu saja ini bukan bentuk pengkhianatan kepada orangtua. Toh, terus melaju menuntut ilmu juga adalah pesan yang senantiasa bapak amanatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H