Kesehatan mental telah menjadi isu penting dalam dunia pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya fakta bahwa kesehatan mental memiliki kontribusi terhadap perkembangan dan kesuksesan akademik mahasiswa. Bahkan kesehatan mental yang bermasalah dapat berdampak cukup kuat terhadap kehidupan lingkungan kampus. Baik pada level individual, interpersonal, maupun level institusional (Kitzrow, 2009).
Kesehatan mental dalam masyarakat semakin hari semakin bertambah dan mengundang reaksi berbagai kalangan. Berita-berita tentang peningkatan jumlah pasien rumah sakit jiwa akibat musibah bencana alam di berbagai daerah, siswa bunuh diri karena masalah asmara, mahasiswa bunuh diri akibat stres, dan sebagainya. Beberapa kasus ketidaksehatan mental tersebut merupakan permasalahan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Ketidaksehatan mental bisa dialami oleh semua orang tak terkecuali mahasiswa, apalagi mahasiswa yang hidup dalam lingkungan yang kurang mendukung. Selain hal tersebut, ada permasalahan lain yang dialami mahasiswa, yakni adanya pertentangan batin antara apa yang menjadi keinginan-keinginannya dengan apa yang harus ia lakukan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan maupun norma-norma yang berlaku dalam kelompoknya. Penyesuaian diri mahasiswa dalam kelompoknya menjadi sangat penting artinya agar ia mampu bertahan hidup dalam kelompok. Apabila mahasiswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya maka mahasiswa itu akan sangat gelisah, cemas, takut, tidak dapat tidur, tidak nafsu makan, dan lain sebagainya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa 1 miliar orang di dunia hidup dengan gangguan mental. Menurut rilis WHO dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun 2020 pada tanggal 10 Oktober menyatakan bahwa 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penggunaan alkohol dan setiap 40 detik satu orang meninggal karena bunuh diri. WHO mencatat negara dengan penghasilan rendah dan menengah, lebih dari 75 persen orang dengan gangguan mental, neurologis dan penyalahgunaan zat tidak menerima pengobatan yang sesuai kondisi mereka.
Pandemi bukan hanya berdampak secara sosial dan finansial tetapi juga secara mental. Data terbaru yang dirilis oleh WHO saat pandemi corona, menunjukkan adanya penambahan kasus gangguan kesehatan mental secara signifikan di sejumlah negara. Menurut data dari situs resmi WHO, mereka melakukan survei di 130 negara. Hasilnya, ada dampak buruk Covid-19 pada akses layanan kesehatan mental. Hasil survei WHO menyatakan lebih dari 60% melaporkan gangguan layanan kesehatan mental bagi orang-orang yang rentan, termasuk anak-anak dan remaja (70%); orang dewasa yang lebih tua (70%), dan wanita yang membutuhkan layanan antenatal atau postnatal (61%). Sebanyak 67% melihat gangguan pada konseling dan psikoterapi; 65% untuk layanan pengurangan bahaya kritis; dan 45% untuk pengobatan pemeliharaan agonis opioid untuk ketergantungan opioid. Lebih dari sepertiga (30%) melaporkan gangguan pada intervensi darurat, termasuk orang yang mengalami kejang berkepanjangan, sindrom penarikan penggunaan zat yang parah, dan delirium, seringkali merupakan tanda kondisi medis serius yang mendasari. Ada 30% negara yang melaporkan gangguan akses pengobatan untuk gangguan mental, neurologis dan penggunaan zat. Sekitar 75% negara melaporkan setidaknya sebagian gangguan terjadi di sekolah (78%), dan tempat kerja layanan kesehatan mental (75%).
Kesehatan mental merupakan hal yang mulai dibicarakan dan diperhatikan secara serius oleh masyarakat Indonesia pada saat ini. Masalah kesehatan mental di Indonesia pada masa ini masih tergolong sangat tinggi, terutama pada kalangan remaja karena mereka masih memiliki emosi yang tidak stabil dan belum memiliki kemampuan yang baik untuk memecahkan masalah yang ada. Masa remaja merupakan masa dimana mereka sering mengalami stres terutama pada peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidup mereka. Remaja dianggap sebagai golongan yang rentan untuk mengalami gangguan mental. Oleh karena itu, remaja perlu untuk mendapatkan perhatian lebih karena remaja merupakan aset negara dan generasi penerus bangsa.
Kesehatan mental pada mahasiswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor genetika, keluarga, pertemanan, gaya hidup, sosial, dan berbagai faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi mahasiswa secara positif maupun negatif. Akan tetapi, masih banyak mahasiswa yang tidak menyadari dampak positif dan negatif yang ditimbulkan dari faktor-faktor tersebut sehingga mereka lupa akan kesehatan mental mereka. Mereka lupa untuk berfokus pada kesehatan mental mereka karena mereka hanya berfokus pada tugas, organisasi, jadwal kuliah, serta tuntutan-tuntutan yang ia terima dari orang-orang di sekitarnya. Regulasi diri dalam belajar yang baik akan membantu mahasiswa untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang dihadapinya. Regulasi diri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kontrol terhadap emosi dan perilakunya di situasi apapun secara mandiri. Ketidakmampuan mahasiswa untuk melakukan regulasi diri akan mengakibatkan mentalnya terganggu karena tidak bisa mengontrol diri di situasi tertentu.
Pada awal masa COVID-19, pemerintah resmi menyatakan bahwa semua instansi pendidikan akan melaksanakan pembelajaran secara daring (media dalam jaringan) pada bulan Maret 2020. Berawal dari kuliah daring, kita dapat melihat bagaimana dampak yang ditimbulkan terhadap para mahasiswa melalui kuliah daring tersebut, terutama pada mahasiswa baru. Seharusnya, masa perkuliahan awal merupakan kesempatan bagi mahasiwa baru untuk mencari relasi, mengembangkan diri, serta belajar untuk menjadi lebih mandiri. Akan tetapi, sekarang hal itu menjadi lebih sulit untuk dilakukan karena ketidakmampuan mahasiswa untuk berinteraksi secara langsung sehingga hal-hal yang seharusnya menjadi kesempatan emas bagi mahasiswa baru pun hilang.
Kesehatan mental memiliki peranan yang sangat penting bagi mahasiswa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan perkuliahannya yang baru. Tentunya kehidupan di lingkungan kampus dan sekolah jauh berbeda. Mahasiswa baru akan menemukan berbagai macam pergaulan yang sangat beragam serta akan menemukan metode pembelajaran yang berbeda dibanding masa sekolah. Oleh karena itu, secara tidak langsung mahasiswa baru dituntut untuk bisa beradaptasi terhadap lingkungan barunya.
Menurut paparan dari WHO pada tahun 2019, belakangan ini stress lebih sering muncul terjadi karena beberapa hal sebagai berikut,
- Ketakutan dan kecemasan mengenai kesehatan diri maupun kesehatan orang lain yang disayangi
- Perubahan pola tidur dan pola makan
- Sulit tidur dan konsentrasi
- Menggunakan obat-obatan