Mohon tunggu...
Nurul Annisa
Nurul Annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Tourism Student at Universitas Gadjah Mada

I like writing about things I passionate, like tourism, culinary, lifestyle, and art. I eager learn new things and collaborate with others.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Belajar Menyunin: Menghidupkan Jiwa Seni di Desa Wisata Batuan, Bali

29 November 2024   18:40 Diperbarui: 7 Desember 2024   17:24 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa Wisata Batuan adalah salah satu desa tertua di Bali yang menyimpan kekayaan tradisi dan seni yang memesona. Berkunjung ke sini bersama teman-teman menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Begitu memasuki desa, terdapat hamparan persawahan yang menyambut di kanan dan kiri jalan sehingga memberikan kesan menenangkan. Desa ini terletak di Kabupaten Gianyar, daerah yang dikenal akan kerajinan tangan berestetika tinggi, sebuah cerminan seni yang mengakar pada budaya lokal. Bangunan-bangunan di desa ini pun dihiasi ukiran tradisional Bali yang kompleks, seolah bercerita tentang sejarah, kepercayaan, dan spiritualitas yang begitu mendalam. Tak hanya itu, aroma harum bunga dan dupa dari canang atau sesajen yang tersebar di berbagai sudut desa juga menghadirkan suasana sakral yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.


Setelah berjalan menyusuri desa selama kurang lebih 10 menit, kami tiba di Joglo Baturan, tempat di mana perjalanan seni kami dimulai. Bangunan joglo ini memancarkan aura tradisional dengan elemen kayu yang kental, sehingga menciptakan suasana nyaman dan hangat. Di sini, kami diajak mengikuti painting class atau kelas melukis yang dipandu langsung oleh tiga pelukis tradisional profesional dari Desa Wisata Batuan. Sebelum memulai, mereka dengan sabar menjelaskan tahapan-tahapan yang menjadi inti dari seni lukis khas Batuan. Saya terkesan dengan betapa rinci dan terstruktur proses ini, menunjukkan bahwa melukis di sini bukan sekadar aktivitas artistik, melainkan bentuk meditasi yang membutuhkan kesabaran dan konsentrasi tinggi.


Prosesnya dimulai dengan ngorten, ini adalah tahap awal di mana sketsa dibuat dengan pensil untuk merancang komposisi dasar lukisan. Setelah itu, dilanjutkan dengan nyawi, yaitu penegasan garis menggunakan tinta Cina untuk memperjelas bentuk utama. Lalu ada tahap ngucak, seniman menambahkan efek terang-gelap untuk menciptakan dimensi dan ilusi jarak. Kemudian masuk ke tahap menyunin, yaitu memberikan isi dan volume pada objek agar terlihat lebih hidup. Proses ini dilanjutkan dengan nyawi kedua untuk menambahkan ornamen serta detail yang lebih kaya, sebelum akhirnya diakhiri dengan ngewarna, yaitu pewarnaan untuk memberikan kehidupan pada lukisan. Melalui penjelasan ini, saya mulai memahami mengapa lukisan gaya Batuan begitu detail dan penuh makna. Proses yang panjang, yang sering kali membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu ini mencerminkan dedikasi tinggi dari para senimannya. Setiap goresan adalah hasil dari ketelitian yang tak bisa terburu-buru. 

Kertas sketsa (sumber: dokumentasi pribadi)
Kertas sketsa (sumber: dokumentasi pribadi)
Saat sesi dimulai, kami masing-masing mendapatkan kertas dengan sketsa yang sudah dibuat, seperti ikan, pohon, gajah, dan bunga. Saya mendapatkan sketsa ikan, lengkap dengan detail sisiknya. Bersama kertas itu, kami juga diberi kuas kecil dan tinta arang untuk memulai proses menyunin. Tahapan awal ini cukup sederhana. Kami dipandu untuk menyapukan tinta arang tipis pada kertas hingga dapat membentuk bayangan awal yang lembut. Saya mulai mengisi garis-garis sketsa pada sisik ikan, berhati-hati agar sapuan kuas tetap rapi. Setelah semua bagian tertutup tinta, kami diminta menunggu hingga tinta mengering sebelum melanjutkan ke lapisan berikutnya. Lapisan kedua dilakukan menggunakan tinta yang sama namun dengan intensitas yang lebih tinggi sehinga warna yang dihasilkan menjadi lebih pekat. Tahapan ini berfungsi untuk memberikan kesan kedalaman pada gambar. Saya mulai memahami bahwa seni ini bukan sekadar tentang melukis, tetapi tentang memahami bagaimana bayangan dan cahaya bekerja sama untuk menciptakan dimensi. Proses ini terus diulang, lapisan demi lapisan, hingga gambar terlihat lebih hidup. Aktivitas ini mengajarkan saya arti kesabaran—bahwa setiap detail kecil memiliki peran penting dalam membentuk sebuah karya yang utuh.


Sementara para peserta sedang asyik menyunin, para pelukis Batuan ini dengan ramah berkeliling untuk memberikan panduan dan memastikan setiap peserta tidak mengalami kesulitan. “Wah, bagus ini, rapi melukisnya,” puji salah satu pelukis sambil tersenyum melihat hasil kerja saya. Kata-kata sederhana itu membuat saya tersenyum bangga dan merasa lebih percaya diri. Percakapan ringan pun mengalir. Dari obrolan singkat itu, saya mengetahui bahwa melukis di Desa Wisata Batuan bukan hanya sekadar aktivitas, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari dan budaya tuurn-temurun. Bahkan, seni lukis ini masuk ke dalam kurikulum sekolah untuk diajarkan sejak dini di sekolah-sekolah dengan pelukis profesional desa ini sebagai pengajarnya. Namun, modernisasi membawa tantangan tersendiri. Banyak pelukis di desa ini kini harus mencari pekerjaan lain yang lebih stabil. “Kalau lukisan itu kan nggak selalu laku. Kadang ada yang beli, kadang nggak. Jadi sekarang melukis lebih banyak dijadikan sebagai pekerjaan sampingan saja,” ujar salah satu pelukis. Meskipun demikian, semangat mereka untuk menjaga tradisi ini tetap menyala. Mereka percaya bahwa seni lukis gaya Batuan adalah identitas desa yang tidak boleh hilang, betapa pun sulitnya keadaan.


Setelah hampir satu jam, akhirnya saya menyelesaikan lukisan saya. Meski sederhana, ada kepuasan tersendiri melihat hasil kerja keras yang lahir dari proses panjang. Lukisan ini menjadi pengingat bagi saya tentang betapa berharganya seni dan betapa pentingnya untuk terus melestarikan budaya. Kunjungan ini membuka mata saya tentang arti seni dalam kehidupan, khususnya seni tradisional yang dijaga dengan penuh cinta oleh para seniman lokal. Melalui pengalaman ini, saya menyadari bahwa melestarikan budaya adalah tanggung jawab bersama. Kita bisa mulai dengan cara sederhana, seperti mengapresiasi karya mereka, belajar langsung, atau bahkan berkunjung ke desa-desa seperti Desa Wisata Batuan. Bagi kamu yang mencintai seni dan budaya, Desa Wisata Batuan adalah destinasi yang tidak boleh dilewatkan. Di sini, kamu tidak hanya akan menyaksikan seni, tetapi juga ikut merasakannya—melalui setiap goresan, cerita, dan pengalaman yang mendalam. Desa ini mengajarkan bahwa seni adalah cara manusia untuk berbicara tentang kehidupan, menciptakan harmoni, dan menjaga warisan budaya untuk generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun