Kampanye "All Eyes on Papua" menjadi perbincangan hangat di media sosial baru-baru ini, memicu perhatian publik terhadap isu yang berbeda dari kampanye "All Eyes on Rafah" yang viral sebelumnya. Tagar ini muncul sebagai bentuk protes terhadap penguasaan hak masyarakat adat Papua oleh perusahaan-perusahaan besar yang mengalihkan hutan adat menjadi perkebunan sawit. Artikel ini akan membahas latar belakang kampanye ini, alasan di baliknya, serta konflik yang sedang terjadi.
Latar Belakang Kampanye
Poster "All Eyes on Papua" dibagikan oleh beberapa akun di media sosial seperti @tanyakanrl dan @machigyu. Video yang mereka unggah memperlihatkan aksi masyarakat adat Awyu Papua di depan Gedung Mahkamah Agung (MA) Jakarta. Mereka menuntut perhatian publik terhadap kasus pengalihan hutan adat mereka oleh perusahaan sawit. Para aktivis meminta masyarakat luas untuk bersuara dan mendesak pemerintah mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas.
Konflik Hutan Adat
Hutan adat Awyu dan Moi di Papua telah berubah menjadi perkebunan sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah yang dioperasikan oleh tujuh perusahaan. Pemerintah provinsi mengeluarkan izin lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), yang mengantongi izin seluas 36.094 hektar di hutan adat suku Awyu. Masyarakat adat merasa kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan warisan budaya mereka akibat konversi ini.
Aksi Masyarakat Adat
Masyarakat adat Awyu dan Moi menggelar aksi damai di depan MA, mengenakan pakaian tradisional dan mengadakan ritual adat serta doa. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan pengalihan hutan adat menjadi perkebunan sawit dan mengembalikan hak mereka. Hutan Papua yang dikenal dengan keindahan alami dan keanekaragaman hayatinya, juga memiliki peran penting dalam mencegah perubahan iklim. Namun, industri kelapa sawit merusaknya demi membuka lahan perkebunan.
Tantangan Masyarakat Adat
Perlawanan masyarakat adat terhadap perusahaan besar tentu tidak mudah. Mereka tidak memiliki sumber daya atau dana yang besar. Namun, mereka tetap berjuang demi mempertahankan tanah dan budaya mereka. Pemimpin masyarakat adat, seperti Hendrikus 'Franky' Woro, harus menempuh perjalanan jauh dan mahal untuk menghadiri sidang di Jayapura, Ibukota Provinsi Papua. Mereka harus melewati rute yang berbahaya dan memakan biaya tinggi untuk setiap perjalanan.
Harapan Terakhir di Mahkamah Agung
Setelah perjuangan panjang, gugatan mereka ditolak di pengadilan. Saat ini, prosesnya dibawa ke Mahkamah Agung, yang menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Awyu dan Moi. Mereka berharap Mahkamah Agung mencabut izin lingkungan PT Indo Asiana Lestari yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua. Selain menghilangkan hutan alam, proyek perkebunan sawit ini juga menghasilkan emisi CO2 yang berpotensi merusak lingkungan global.