Mohon tunggu...
Nurul Annisa
Nurul Annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Sri Lanka Terjebak dalam Jebakan Utang Tiongkok? Begini Sejarahnya dan Alasannya

30 Mei 2024   18:29 Diperbarui: 30 Mei 2024   18:29 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang Jebakan Utang (Dept Trap)
Istilah "jebakan utang" menggambarkan strategi keuangan di mana negara pemberi pinjaman memberikan uang dengan tujuan meningkatkan pengaruh politiknya, dengan harapan mendapat konsesi ekonomi atau politik ketika negara penerima tidak dapat membayar kembali utangnya. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh akademisi India, Brahma Chellaney, pada tahun 2017, khususnya untuk menggambarkan praktik pemerintah China yang dianggap memanfaatkan beban utang negara-negara kecil demi kepentingan geopolitik. Meskipun ada perdebatan tentang apakah praktik pinjaman China memang termasuk dalam kategori ini, banyak yang mengkritik strategi pinjaman China di Sri Lanka sebagai contoh nyata dari diplomasi jebakan utang.

Beban Utang Sri Lanka
Sri Lanka menghadapi beban utang yang signifikan, di mana 95% pendapatan pemerintah digunakan untuk membayar utang. Dari total utang yang mencapai $51 miliar, China merupakan kreditor bilateral terbesar, yang menyumbang sekitar 10% dari utang luar negeri Sri Lanka. Infrastruktur yang didanai oleh pinjaman China termasuk Pelabuhan Internasional Hambantota dan Bandara Internasional Mattala Rajapaksa, yang sering dianggap sebagai "proyek gajah putih" karena manfaat ekonominya yang minim. Pelabuhan Hambantota, yang disewa kepada China Merchants Port selama 99 tahun pada 2017, sering dikritik sebagai contoh nyata di mana Sri Lanka harus menyerahkan aset strategis karena ketidakmampuannya membayar utang.

Kesulitan Mengakses Bantuan IMF
Ketidakmampuan Sri Lanka untuk mendapatkan kerangka bantuan utang yang konkret dari China telah menghambat akses negara tersebut terhadap dana darurat dari Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar $3 miliar. IMF menuntut "jaminan pendanaan" dari kreditor bilateral sebagai syarat utama untuk bailout, yang belum berhasil diperoleh Sri Lanka. Keterlibatan politik China di Sri Lanka juga turut memperburuk keadaan. Beijing memberikan dukungan politik aktif kepada keluarga Rajapaksa dan kebijakan mereka, yang telah berkontribusi pada keruntuhan ekonomi negara tersebut. Kritikus melihat ini sebagai bentuk diplomasi jebakan utang di mana China menggunakan pengaruh finansialnya untuk mengontrol politik Sri Lanka.

Restrukturisasi Utang dan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative Project/BRI)
Meskipun China telah menyatakan kesiapannya untuk merestrukturisasi utang Sri Lanka, krisis ekonomi negara ini tetap menjadi perhatian utama. IMF telah memperingatkan bahwa negara-negara lain yang sarat utang, seperti Laos dan Kenya, berisiko mengalami keadaan serupa jika tidak menerapkan langkah-langkah penghematan dan merestrukturisasi utang mereka secara efektif. Diplomasi jebakan utang China merupakan bagian dari Belt and Road Initiative Project (BRI) yang lebih luas, yang bertujuan memperluas pengaruh ekonominya melalui pinjaman strategis dan pengembangan infrastruktur. Kritikus berpendapat bahwa strategi ini dapat menyebabkan jebakan utang dan merongrong kedaulatan negara-negara peminjam.

Sejarah Jebakan Utang (Dept Trap) di Sri Lanka
Pada awal 2000-an, China mulai memberikan pinjaman kepada Sri Lanka untuk proyek infrastruktur besar. Antara 2000 dan 2020, China memberikan pinjaman hampir $12 miliar kepada pemerintah Sri Lanka. Namun, banyak dari proyek ini, seperti Pelabuhan Hambantota dan Bandara Internasional Mattala Rajapaksa, dikritik sebagai proyek gajah putih dengan sedikit manfaat ekonomi. Pada 2017, karena tidak mampu membayar utangnya, Sri Lanka harus menyerahkan Pelabuhan Hambantota kepada China dengan sewa selama 99 tahun. Krisis ekonomi semakin parah pada tahun-tahun berikutnya, memaksa Sri Lanka untuk membuka pembicaraan dengan PBB guna membeli kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Keuangan negara yang tidak stabil membuat Sri Lanka mengalami kebangkrutan pada tahun 2020, menegaskan betapa  berpengaruh jebakan utang China di negara ini.

Melalui perjalanan panjang ini, Sri Lanka telah menjadi contoh nyata bagaimana diplomasi jebakan utang dapat menjerat sebuah negara, mengorbankan kedaulatan dan stabilitas ekonominya demi pengaruh geopolitik yang lebih besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun