Doktrin bebas aktif, sebagai pilar utama dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia, memainkan peran sentral dalam mengarahkan negara ini melalui dinamika hubungan internasional. Fokus utama dari doktrin ini, terutama ketika dipertimbangkan dalam konteks aspirasi bergabung dengan BRICS, mencerminkan semangat kebebasan dan kemandirian dalam pengambilan keputusan di kancah dunia.
Sejak tahun 2011, Indonesia telah dianggap sebagai kandidat potensial untuk menjadi anggota BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa). BRICS sendiri adalah kelompok yang terdiri dari lima negara berkembang besar, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Agenda utama mereka adalah mempromosikan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, politik, dan pembangunan sosial. Indonesia baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di kancah internasional, tepatnya setelah Presiden Joko Widodo "Jokowi" Â menghadiri KTT BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan pada 24 Agustus 2023 lalu.
Menjelang KTT tersebut, BRICS mengumumkan akan menerima enam negara anggota baru, yaitu Argentina, Ethiopia, Mesir, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab akan menjadi anggota mulai Januari tahun 2024. Sebelumnya, banyak spekulasi yang menyebutkan Indonesia akan mengikuti jejak mereka.
Bahkan, ada 67 negara yang diundang menghadiri KTT tersebut, dengan 40 negara, termasuk Indonesia, menyatakan minat bergabung dengan BRICS. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, sejumlah ahli berpendapat bahwa Indonesia seharusnya bergabung dengan kelompok ini.
Namun, Jokowi menyatakan bahwa Indonesia masih perlu mempertimbangkan posisinya. Nilai potensial Indonesia bagi BRICS sangat jelas. Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, dengan ekonomi yang berkembang pesat dan berpotensi menjadi salah satu dari lima ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2045, serta merupakan kekuatan utama di Asia Tenggara, sebuah wilayah strategis yang penting di mana Amerika Serikat dan Tiongkok saling berebut pengaruh.
Politik luar negeri era Joko Widodo ini yang berfokus pada diplomasi untuk kepentingan nasional dan pembangunan nasional maupun internasional, bahwa tidak bergabung dengan BRICS, setidaknya untuk saat ini, adalah keputusan yang tepat bagi Indonesia.
Alasan Indonesia Tidak Bergabung dengan BRICS:
- Menghindari Sentimen Anti-Barat
Salah satu tujuan BRICS adalah untuk mengimbangi kekuatan ekonomi negara-negara maju yang tergabung dalam G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat). Namun, dalam perkembangannya, baik BRICS maupun G7 tidak bisa menahan diri untuk memperluas agenda mereka ke isu-isu politik dan keamanan global yang lebih luas.
Hal ini terlihat jelas dalam perang Rusia-Ukraina, dimana kedua blok menunjukkan sikap yang sangat berlawanan. BRICS, misalnya, menyerukan gencatan senjata segera, sementara G7 menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada Rusia.
Situasi ini bisa membuat Indonesia terjebak dalam posisi yang sulit. Bergabung dengan BRICS bisa dipandang sebagai sinyal dukungan terhadap Rusia dan China, sehingga berpotensi merusak hubungan diplomatik Indonesia dengan AS dan negara-negara Barat lainnya.