[caption id="attachment_364637" align="aligncenter" width="240" caption="Menghangatkan badan di perapian arang"]
![1421338727705893212](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1421338727705893212.jpg?t=o&v=300?t=o&v=555)
Keramahan suku Tengger membuat kami merasa berada di desa kami sendiri. Kami selalu ditemani ngobrol sambil menghangatkan diri. Kesempatan ini kami gunakan untuk bertanya-tanya tentang mereka, tentang Bromo, dan kawasan di sekitarnya. Ternyata di desa Ngadas ada 3 agama yang dianut masyarakatnya, yaitu Hindu, Islam, dan Budha. Di sini ada Pura, Masjid, dan Vihara. Mereka begitu rukun satu sama lain. Ada satu makam kyai yang menurut warga adalah penyebar agama Islam di sini, yaitu makam Kyai Sedek.
[caption id="attachment_364638" align="aligncenter" width="240" caption="Keramahan suku Tengger"]
![1421338852544300365](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1421338852544300365.jpg?t=o&v=300?t=o&v=555)
Sore menjelang, kamipun berjalan-jalan menuju pos tempat beberapa warga sedang berkumpul. Kami bertanya kepada warga desa mengenai medan jalan yang akan kami lalui menuju penanjakan dan gunung Bromo. Menurut warga, sebaiknya kami menggunakan jeep dengan tarif Rp. 700.000,- yang bisa diisi hingga 6 orang. Jeep ini akan mengantar kami ke 4 tempat, yaitu penanjakan untuk melihat sunrise, gunung Bromo, Pasir Berbisik, dan Padang Savana. Lewat jam 21.00WIB, kami mendapat kabar ada 4 orang lagi yang mau bergabung bersama kami naik jeep. Alhamdulillah, kami pun memutuskan untuk naik jeep.
[caption id="attachment_364639" align="aligncenter" width="240" caption="Dok Pribadi"]
![1421339079413775151](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1421339079413775151.jpg?t=o&v=300?t=o&v=555)
Hawa dingin membuat kami sulit tidur. Walau sudah menggunakan selimut rangkap 3 dan kaki ditutupi 8 bantal, kami masih merasa kedinginan. Jam 01.00 WIB kami terbangun dan mulai bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Penanjakan. Tak lupa kami makan mie instan dan minum wedang uwuh untuk menghangatkan badan. Jam 02.00 WIB, kami dijemput pihak paguyuban jeep yang akan mengantar kami ke tempat wisata. Kami pun menuju Penanjakan sebagai lokasi pertama. Medan yang berat dimulai di pertigaan Jemplang. Jika ambil arah kanan menuju Ranupani, yang katanya kondisi jalannya lebih bagus. Dan jika ke penanjakan kita ambil arah kiri dengan kondisi jalan rusak berlubang. Tahulah kami sekarang kenapa warga menyarankan kami untuk menggunakan jeep. Ternyata medan yang kami lalui berupa jalan rusak berliku naik turun penuh gelombang. Jeep adalah pilihan yang tepat karena kami melihat banyak pengunjung yang menggunakan motor terpaksa jalan kaki karena kondisi jalan tersebut.
[caption id="attachment_364641" align="aligncenter" width="240" caption="Bersama Jeep yang Kami Tumpangi"]
[caption id="attachment_364645" align="aligncenter" width="300" caption="Para Pemburu Sunrise"]
![1421340350991073902](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1421340350991073902.jpg?t=o&v=300?t=o&v=555)
[caption id="attachment_364646" align="aligncenter" width="240" caption="Dan Sunrise pun diundur jam 11.00 karena kabut tebal"]
![1421340447885248231](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1421340447885248231.jpg?t=o&v=300?t=o&v=555)
Jam 04.00 WIB kami sampai di Penanjakan. Ini adalah titik tertinggi untuk melihat sunrise. Hawa dingin menusuk tulang. Masker dan sarung pun saya pakai untuk menghangatkan badan. Disini sudah penuh sesak dengan pengunjung yang berburu sunrise. Bahkan ada orang tua yang membawa anaknya untuk menunggu sunrise. Sayang..kabut tebal yang tiba-tiba datang menghalangi kami tuk melihat sunrise. Gerimis pun turun dan kami memutuskan untuk kembali ke jeep dan melanjutkan perjalanan.
Destinasi selanjutnya adalah puncak kawah Bromo. Dan ternyata parkir jeep sangat jauh dari tangga Bromo. Bagi yang tidak mau jalan kaki, warga menyediakan kuda nenuju tangga Bromo dengan tarif Rp. 100.000,-. Saya yang takut naik kuda memilih jalan kaki saja, hehe.. Dan di sebelah kiri hamparan pasir ini ada pura sebagai tempat sembahyangan orang Hindu. Di sepanjang jalan ada beberapa warung tenda yang menyediakan kopi panas, teh, dan mie instan. Hawa dingin memaksa kami untuk berhenti sejenak menikmati white coffee panas seharga Rp. 6000,-. Setelah lebih hangat, kami melanjutkan perjalanan menuju kawah Bromo. Ada tangga yang menjulang tinggi menuju kawah. Karena pengunjung yang sangat banyak, kami harus mengantri di tangga untuk sampai kawah.
Gunung Bromo(daribahasa Sanskerta:Brahma, salah seorang Dewa UtamaHindu), merupakangunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata diJawa Timur. Sebagai sebuahobyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif. Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo,Pasuruan,Lumajang, danKabupaten Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.
[caption id="attachment_364647" align="aligncenter" width="150" caption="Parkiran Jeep"]
![142134062190393793](https://assets.kompasiana.com/statics/files/142134062190393793.jpg?t=o&v=150?t=o&v=555)
[caption id="attachment_364648" align="aligncenter" width="150" caption="Tangga Menuju Kawah Bromo"]
![1421340726712377281](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1421340726712377281.jpg?t=o&v=150?t=o&v=555)