Judul Buku: Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid 1: Tanah di Bawah Angin)
Karya : Anthony Reid
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Sejarah umat manusia merupakan jalinan tak berkelim. Tak satu pun bagian Dari sejarah itu bisa diisolasi, terutama bagian jalinan perniagaan internasional, seperti halnya pada “tanah di bawah angin.” Namun bagi kita yang mempelajari wilayah ini, tidaklah mudah untuk melihat jalinan intemasional itu tanpa memudarkan kehadiran bangsa-bangsa Asia Tenggara dari panggung sejarahnya sendiri. Tradisi terpelajar ini tidak memberi banyak petunjuk tentang kaitan antara babad kerajaan, bahasan agama, atau puisi liris dengan dunia produksi dan perdagangan.
Sebagian besar penduduk “di Bawah Angin” tak hentinya menikmati musim semi... Seperti yang selamanya berlangsung “di Bawah Angin,” pusat·pusat yang ada tidaklah didasarkan pada suatu kekuasaan atau daulat. Segalanya tak lain dari pameran ... Penduduk asli menghitung tingginya derajat dan kekayaan seseorang berdasarkan Jumlah budak yang dimilikinya. ( Ibrahim 1688: 174-177 )
Asia Tenggara sebagai Kesatuan Fisik. Tidak banyak kawasan penting dunia yang begitu ditentukan batas-batasnya oleh alam seperti Asia Tenggara. Dalam batas-batas inilah terletak yang dikenal oleh para ahli tulisan kuno sebagai Tanah Sunda, oleh ahli geografi laut sebagai Selat Sunda. Air dan hutan juga merupakan dua unsur dominan dalam lingkungan hidup Asia Tenggara. Asia Tenggara selalu terbuka bagi perdagangan antar samudera, bagi para petualang, dan kaum penyebar paham dalam jumlah lumayan. Pemakaian sumber daya hutan tropis tumbuh dengan cara pertanian berpindah. Pusat·pusat kota besar turut menikmati limpahan kayu, bambu, dan pohon kelapa sebagai bahan bangunan.
Asia Tenggara sebagai Kesatuan Manusia. Kesamaan Unsur pada segenap rumpun bahasa Asia Tenggara dalam Tatanan interaksi intensif masyarakat, banyak kesamaan Sosiobudaya antara kaum migran dengan bangsa Asia Tenggara. faktor yang memberi kawasan ini suatu kesamaan yaitu penyesuaian dengan lingkungan fisik yang sama dan tingkat jalinan niaga yang tinggi di kawasan tersebut. Lingkungan hidup yang sama juga menyamakan jenis makanan yang umumnya menggunakan beras, ikan, dan berbagai jenis palem dan arsitektur Khas, pola rumah tangga, dan bahkan struktur sosiopolitis khas Asia Tenggara, Penduduk Asia Tenggara yang senang tinggal di rumah bertiang.
KESEJAHTERAAN FISIK
Jumlah Penduduk pada abad 17 dan 18, Asia Tenggara mengalami pertumbuhan yang rendah. Secara keseluruhan, Asia Tenggara berpenduduk jarang di tahun 1600. Saat keadaan kembali membaik, kebiasaan kawin muda, melimpah bahan makanan, dan kesehatan yang baik, mengakibatkan pesatnya kenaikan jumlah penduduk. Pola Pertanian di Asia Tenggara adalah beras, sebagai bahan makanan dan hasil bumi, bahan-bahan makanan pokok lainnya seperti talas, ubi, sagu, dan sejenis gandum tampaknya mendahului padi, setidaknya gugus di Asia Tenggara (lshige 1980: 331-337). Pengekspor padi terbesar ialah Jawa. Penggunaan Tanah di Asia Tenggara masih penuh dengan tanah yang tidak digarap di perbukitan dan hutan, yang tersedia bagi siapapun yang ingin mengolahnya dengan menanam pohon buah-buahan atau kelapa dan pembuatan sawah untuk bercocok-tanam tahunan.
Peralatan pertanian sangat sederhana dan seragam, yakni besi, peralatan pentingnya ialah luku kayu, ujungnya dari logam dan garuk dari kayu, yang diseret di belakang kerbau atau sapi. Di Asia Tenggara, kerbau yang lamban dapat dijadikan hewan penghela, terutama membajak dan mengangkut basil bumi. Pasokan makanan Asia Tenggara yaitu beras, bahan makanan penting lainnya yang diperdagangkan ialah garam serta ikan. Meskipun mayoritas penduduk Asia Tenggara tinggal dekat laut atau sungai, namun mereka tidak menerima persediaan ikan segar akibat perubahan musim.Perdagangan ikan sehari-hari dalam bentuk yang sudah dikeringkan atau diasinkan merupakan "suatu bahan perdagangan yang penting di Asia Tenggara" (Crawfurd 1820 I: 197). Makan daging bermakna ritus karena erat dengan upacara pengorbanan hewan. Daging dimakan mentah-mentah, Orang Asia Tenggara berangsur menurun mengonsumsi daging karena pengaruh agama.