Bahkan jika dihitung impor pada 2019 lalu, impor alkohol Indonesia mencapai US$ 27,26 juta, paling besar dari wine dengan US$ 14 juta dan pangsa pasar 14%. Sementara alkohol <80% berada di bawah US$ 10,69 juta dengan pangsa pasar 39%.
Mengatur peredaran Minol sebenarnya sudah tertuang dalam Perpres No 74 tahun 2013, ketika itu pemerintahan masih di tangan SBY. Tentu saja perbedaan tekanan ada dua kurun pemerintahan yang berbeda.Â
Satu rezim mengatur peredaran yang berarti setiap propinsi di Indonesia boleh memproduksinya dan boleh juga mengedarkannya. Satu rezim lagi hanya memperbolehkan empat propinsi yang memproduksinya.
Peraturan Batal, Investor Bebas Menanamkan Modalnya di Indonesia
Pada Tanggal 13 November 2020 saya pernah menulis tentang Minol juga di Kompasiana dengan judul Gertak Sambal (kah) DPR yang ingin Melarang Miras?Â
Di sana saya mengutip bebarapa daerah yang mempunyai kearifan lokal memproduksi Miras sebagai mata pencaharian. Karena memang daerah tersebut dari dahulunya sudah sangat familiar dengan minuman beralkohol dengan proses fermentasi.
Bahkan daerah-daerah lainnya pun seperti malu-malu untuk mengatakan jika daerahnya belum bebas terlepas dari penginvestasian anggarannya untuk Minol, misalnya DKI yang menanamkan modalnya di DLTA.
Dan tahun ini laba yang diperoleh oleh daerah yang dipimpin oleh mantan Mendikbud ini lebih dari 100 milyar Rupiah. Jikalau konsisten dengan peraturan maka hanya niat baik dari pejabatnya untuk menghentikan investasi yang sudah ada sejak lama itu,
Penghentian investasi yang terlanjur menghasilkan laba kemudian dapat dinikmati secara nyata di luar dari pendapatan pokok adalah perkara lain.Â
Ketika ada yang ingin mengusik dengan peraturan-peraturan baru maka tidak dipungkiri akan diciptakan riak-riak penolakan bahkan gelombang-gelombang protes.
Melokalisasi produksi minol yang dipilih oleh Jokowi bisa dikatakan jala tengah. Satu sisi para investor tidak kebingungan menanamkan modalnya.Â