Sehingga dari sini saja sudah kelihatan kritik zaman dahulu bisa di bilang tidak tersedia. Jikalau ada satu jawaban kritik tetap ada dan disediakan dalam kolom pembaca. Tentu saja akan berbeda maknanya ketika satu kolom berita utama harus diimbangi dengan kolom pembaca ketika muncul pun sudah melalui banyak editan. Dan belum tentu akan muncul bersamaan dengan berita yang edang viral.
Kalaupun ketakutan yang dirasakan oleh ekonom Kwik Gian Gie bukan pada tataran ide mungkin pada personal yang akan diungkit oleh warganet. Memang konsekwensi media sosial yang seolah tidak ada kontrolnya ini akan sedikit banyak merugikan orang-orang yang sudah terbiasa dengan kenyamanan dalam beropini.
Bahkan Jusuf Kalla pun seolah meragukan jikalau pernyataan Jokowi yang ingin dikritik itu akan mendapat sambutan. Karena JK sendiri menyadari ada ribuan bahkan jutaan Buzzer hingga Influencer yang akan mengkounter kritikan-krtikan. Kemudian akan berujung pelaporan sebagaimana Sugi Nur Raharja dan Novel Baswedan.
Warganet adalah Pencuit yang Jujur
Pembedaan kritikan memang kadang-kadang masih kabur. Dan waganet sediri menyamakan kritikan dengan mencaci maki, menyeberluaskan berita kebohongan, Â atau keinginan segelintir yang mengadu domba dalam ranah SARA. Dari wilayah WA, FB, Twitter dan lain sebagainya pasti akan ditemui orang-orang yang jujur dan sangat sadar jika pembelokkan logika pasti akan ada dan sudah kewajaran jikalau pendapat itu harus diluruskan.
Argumen-argumen yang matang dan berisi akan selalu menghidupkan pendewasaan dalam memberikan kritikan. Semetara peseimisme untuk memberikan kritika karena adanya ketakutan dibully ramai-rami oleh warganet kemungkinan besar karena tidak adanya argumen yang benar. Bahkan lebih miris lagi jika yang menyampaikan ketakutan itu adalah pihak-pihak yang sangat takut jika dominasi yang sudah dibangun itu akan hilang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H