Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Undang-undang Terlalu Besar Kalau Hanya untuk Menjegal Cakada

26 Januari 2021   14:29 Diperbarui: 26 Januari 2021   15:50 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : kumparan.com

Daerah-daerah yang akan mengadakan pemilu di tahun 2022  bisa berharap cemas dan sekaligus berharap bahagia. Berharap cemas karena sesuai dengan UU No 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No 1 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-undang No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubenur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sesuai dengan Pasal 201 ayat 8, yang isinya antara lain; Pemungutan suara serentak dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Tentunya dengan Undang-undang tersebut para Gubernur, Walikota, dan Bupati yang baru menjabat sekali ada keinginan untuk mempertahankan jabatannya untuk kedua kalinya. Tahun 2023 adalah waktu yang tepat perkiraan mereka untuk mengadakan Pilkada dengan asumsi masyarakat tidak mempunyai jeda yang panjang untuk menentukan pilihan.

Jikalau Pilkada diadakan serentak tahun 2024 berbarengan dengan Pemilu Nasional maka kans untuk mengenalkan diri lagi lebih kecil. Belum lagi situasi politik setelah pemilu 2024 yang tidak bisa dipastikan apakah calon incumbent bisa terpilih kembali.

Namun kabar bahagia pun bisa diharapkan oleh Para Kepala Daerah yang masa jabatannya akan berakhir di tahun 2022 dan baru menjabat sekali kemudian dalam hitung-hitungan masih bisa terpilih kembali.

Kabar baik itu datang karena telah beredar kabar Republika.Co.Id, Jakarta, 24 Januari 2021 -- Berdasarkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang dimutakhirkan pada 26 November 2020, pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap akan digelar pada 2022 dan 2023. Pilkada ini diselenggarakan di daerah yang sebelumnya melaksanakan pilkada pada 2017 dan 2018.

Meskipun masih berupa draft tetapi jika wakil rakyat kemudian mengubah Undang-undang sebelumnya kemudian menetapkan Undang-undang yang baru maka keinginan kepala daeah untuk memperpanjang jabatannya terbuka lebar. Lain halnya jika Undang-undang yang dipakai adalah undang-undang Pilkada yang sudah ada.

Ada tujuh propinsi, 76 Kabupaten, dan 18 kota  yang seharusnya mengadakan Pilkada tahun tahun 2022 termasuk di antaranya DKI. Di antara sekian pemilihan Kepala Daerah tentunya DKI yang akan menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Sehingga perubahan Undang-undang yang baru berjalan 4 tahun ini harus diubah kembali dengan alasan sungguh berat untuk melaksanakan Pilkada dan Pemilu secera serempak mengingat pengalaman tahun 2017 demikian banyak petugas dari TPS yang meninggal akibat kelelahan.

Alasan terebut boleh saja, namun dampak yang ditimbulkan oleh pemilu DKI yang sangat berdekatan dengan Pemilu Nasioanl untuk memilih DPR, dan Presiden Wakil Presiden adalah sama saja membiarkan roda pemerintahan tidak akan selalu stabil. Bahkan menurut saya, waktu dua tahun untuk jeda untuk menyambut  Pemilu Nasional sudah sangat baik. Karena kesiapan para pelaksana di lapangan akan bisa bekerja dengan maksimal.

Perbaikan setiap tahapan Pemilu dan perbaikan tiap periode Pemilu adalah hal yang baik. Namun politik akan selalu sama, bagaimana mengekalkan kekuasaannya dari tiap periode Pemilu. Sehingga khusus DKI yang menjadi penguasa sekarang akan berusaha dengan segala cara agar hegemoni yang yang sudah ada tidak tergeser.

Prasangka untuk menggelar hajatan Pilkada dari tahun 2022 atau 2023 menjadi tahun 2024, bisa jadi memang ada niatan untuk menjegal incumbent agar tidak terpilih lagi. Dengan asumsi rentang dua tahun jeda untuk  Pilkada DKI akan membuat orang tidak mengenal lagi calon yang ada sekarang. Sehingga para pengsusungnya jika dipaksa untuk megajukan pilihan lain belum tentu lebih terkenal dari petahana sekarang.

Karena bagaimanapun juga masyarakat Jakarta sudah terlalu pintar untuk kembali melaksanakan Pilkada yang penuh demo-demo sebagaimana tahun 2017. Sehingga waktu lima tahun sudah cukup untuk menilai kapasitas pemimpin DKI sekarang. Lagi pula pendukung utama demo-demo itu sudah tidak bisa beraktivitas lagi karena sudah bubar. Sehingga meskipun Pemilu diadakan tahun 2022,  atau 2024 tidak adaa bedanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun