Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngenteni Ndoge Blorok (Menunggu yang Tidak Pasti)

20 November 2020   07:23 Diperbarui: 20 November 2020   07:30 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pepatah Jawa yang dapat diartikan secara bebas, bahwa mengharapkan sesuatu yang tidak akan terjadi. Dan sayangnya pepatah di atas pernah suatu saat mengenai keluarga kami, betapa tidak suatu harapan yang seharusnya terjadi namun pada kenyataannya harus menelan kepahitan bahkan kalau diingat-ingat akan menjadi bahan candaan yang tidak habis-habisnya.

Hidup di tengah masyarakat pantura tepatnya di Kabupaten Pati yang mayoritas penduduknya kaum Nahdliyin satu hal yang tidak dipisahkan adalah penghormatan kepada orang tua yang masih hidup tak terkecuali yang sudah meninggal. Dan istilah mikul duwur mendem jero, kalau diartikan secara bebas adalah selalu meninggikan derajat orang tua kala masih hidup ataupun sudah meninggal dunia. Bukan malah diartikan orang tua yang masih hidup di angkat tinggi-tinggi setelah itu di kubur dalam-dalam. Apakah ada? Ya  ada, banyak anak yang tega  membunuh orang tuanya kemudian dikubur, sebelumnya diangkat tinggi dan dijatuhkan. Sekali lagi bukan itu maksud pepatah di atas.

Saking ingin meninggikan derajat orang tua, terutama yang sudah meninggal dunia biasanya ahli waris  akan memuliakan arwah almarhum atau almarhumah  dengan  mengadakan rangkaian doa dengan mengundang tetangga terdekat dalam bentuk acara tahlilan lengkap dengan kenduren. Dari hari ke-1, ke-2, ke-3 hingga ke 7 dilanjutkan memperingati hari ke 40, ke 100.  Hidangan yang biasanya ada ketika kenduren adalah kue dan air putih gelasan dan makan setelah doa. Pulang pun tiap orang yang diundang biasanya akan membawa nasi lengkap dengan lauknya.

Hidangan yang sama harus disediakan ketika mendak ke-1 atau memperingati setahun kematian, mendak ke-2, mendak ke-3. Dan ada sedikit perbedaan ketika keluarga yang ditinggal itu ingin  melanjutkan peringatan yang ke seribu atau nyewu, suguhan yang diberikan juga berbeda dari hari pertama sapai ke tujuh. Untuk mengenang ke seribu harinya biasanya yang punya hajat akan menyembelih kambing hingga sapi. Tergantung kemampuan, kalau yang ingin mengadakan kenduren dari keluarga tidak mampu bisa seadanya. Setelah acara nyewu selesai tiap tahun  akan ada haul.

Tidak semua orang di kampungku mampu melaksanakan acara tahlilan, tapi karena malu atau gengsi jika tidak mengadakan acara kenduren maka segala cara dipakai  agar ujubnya tercapai. Dari membuka simpanan tabungan kalau punya. Menjual barang yang berharga emas andai ada,  hewan peliharaan kalau punya.

Jika simpanan tak ada, hewan peliharaan tidak punya, emas pun sudah terjual untuk kebutuhan hidup tinggal satu-satunya yaitu mencari pinjaman. Pinjam ke tetangga yang dianggap mampu, pinjam bank kalau masih dipercaya yang penting ada kalau perlu  nganak-naganakke  berusaha mengadakan yang tidak ada.

Mengingat begitu banyaknya dana yang harus ada untuk mengurusi pemuliaan orang tua yang sudah meningggal, kadang-kadang orang tua yang masih hidup menabung untuk kelak kalau dirinya sudah meninggal. Dari membeli peti mati, menyediakan kain kafan, hingga tabungan uang untuk digunakan kenduren. Namun tidak semua orang tua bisa seperti itu. Hanya ada keyakinan saja kalau anak-anaknya akan melakukan sesuai dengan kebiasaan yang hidup di masyarakat.

Dan baiknya lagi kadang-kadang masyarakat di sekitar yang sedang di rundung duka akan memberi bantuan sekadarnya. Dari beras, gula, teh, atau kebutuhan sembako lainnya untuk meringankan beban yang akan digunakan jikalau nantinya akan mengadakan berbagai acara dari tahlilan dari hari pertama  sampai tujuh harinya.

Bayangkan saja kalau satu bulan ada yang meninggal dua orang saja dalam satu r.w setengah bulan saja akan mengurangi cost untuk makan malam, dan paginya. Karena nasi yang dibawa pulang pasti paginya akan bisa dibuat nasi goreng, sungguh terlalu ya nalar saya. Mengharapkan orang lain meninggal kemudian mendapatkan nasi kenduren. Namun ada juga yang menikmatinya, menjadi tukang doa di desa. Tiap mempimpin doa dan pulangnya dapat uang saku dan bawa nasi kotak.

Dan suatu hari, di keluarga saya yang kebetulan sebagai tetangga dekat dari yang sedang dirundung duka pastilah membantu kebutuhan untuk keluarganya. Bisa dikatakan sedikit lebih, dan pada saat kenduren datang semua berharap akan mendapat nasi bungkus. Dalam pikiran kami sebagai tetangga dekat pastilah akan medapat antrian yang pertama.

Tetapi kami lupa kalau Bapak sebagai kepala keluarga yang diundang untuk tahlilan tidak bisa datang karena sedang ada tugas ke luar kota. Semua berpikir tidak perlulah masak untuk makan malam toh nanti akan mendapat jatah. Setelah kenduren usai kurang lebih sebelum Sholat Isya tidak ada yang mengahantarkan. Karena biasanya akan ada yang mengantarkan jika dalam lingkungan ada warga yang  tidak bisa datang karena adanya suatu keperluan. Hingga sholat selesai tidak ada yang ketok-ketok pintu, maka ada yang berinisitaif membeli makanan nasi gandul. Setelah makan pun belum ada hantaran dari tetangga yang kenduren. Untung saja cepat-cepat beli makanan, kalau tidak laparlah untuk satu malam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun