Shandya Kala di Parang Garuda
IX
Jika mengingat kejadian itu Rayung Wulan selalu tersenyum, Â tidak menyangka jika candanya yang memanggil para prajurit ditanggapi serius oleh Soponyono.
Sementara itu ibunya yang melihat Rayung sudah bisa tersenyum ketika dirias, hatinya jadi gembira ternyata putrinya bisa melupakan lelaki yang diidamkannya. Sehingga dibiarkan saja putrinya menimbang apa yang harus dilakuakan sebagai seorang putri penguasa Parang Kencono.
******
"Ya, Nimas."
"Kok tidak terdengar Ya.."
"Ya Nimas Rayung Wulan..."
Suara Soponyono tercekat di leher, bibirnya sangat kelu. Andaikan dirinya memanggil nama Rayung Wulan di depan para pejabat kadipaten Carang Soka, betapa akan menjadi geger. Terlebih jikalau di hadapan Adipati. Bisa-bisa kepalanya langsung terpisah. Betapa dirinya dan Rayung Wulan bagai jarak antar kutub selatan dan kutub utara. Sangat jauh.
"Kakang Soponyono, boleh kan aku ikut latihan menjadi pesinden untuk memeriahkan ulang tahan ayahanda?"
"B..b.. boleh Nimas." Gagap ia berkata, sudah semestinya sebagai seorang dalang yang ditugasi untuk memimpin kesenian di Carang Soka kosa kata dan tatakata sangat banyak tersimpan. Bahkan harusnya sebagai dalang yang mumpuni dan mempunyai segudang pengalaman tentang perempuan tidaklah akan gugup. Â Namun menghadapi Rayung Wulan dirinya seperti anak kecil yang dituntun untuk berkata.
Sore hari telah tertutup oleh selimut malam, dan suara gamelan masih terdengar , hingga katak dan jangrik berebutan suara mengisi malam yang selalu bersahabat dengan kelahan. Menyisipkan mimpi-mimpi yang tidak tercapai pada siang harinya.Â