Tanggal 2 Maret 2020 saya pernah menulis di blog Kompasiana dengan judul "Hoax, Covid-19 dan Penyakit Pascabanjir Sama-sama bahayanya". Dari judulnya saja saat itu saya ada kesan seolah berkelakar jika Covid tidaklah seberbahaya dan semematikan yang saya bayangkan. Karena memang pada kenyataannya bulan Maret yang terdampak virus itu kurang lebih di dunia 781.485 kasus, 164 726, yang dapat disembuhkan, namun yang meninggal 378.578. (kompas.com). Hanya yang menjadi berita utama adalah tiongkok sekitar 80.754 kasus dan yang meninggal, 3.136. kasus itu belum membooming, hanya menjadi berita-berita media
Kemudian per-September 2020, corona telah menjadi pandemi dengan kasus terkontaminasi yang dapat dikabarkan 26.150.577 orang, dengan 18.413.383 di antaranya sudah sembuh. Kasus kematian akibat Covid-19 pun mengalami penambahan menjadi 866.034 korban jiwa. Dan di Indonesia sendiri per 15 September 2020: Â 225.030 terkonfirmasi, 161.065 yang sembuh, sementara yang meninggal dunia 8.965 jiwa (tim gugus Covid-19).Â
Rasio peningkatan yang sangat tinggi hampir Sembilan kali. Mungkin pada saat itu saya tidak akan membayangkan jika virus ini demikian bisa sangat cepat. Dan tidaklah berani saya menuliskan jika Corona sama bahayanya penyakit yang muncul pascabanjir. Karena bukan ahlinya atau nujum kali ya (menangis dalam hati).
Mungkin pola pikir yang menyepelekan virus ini tidak sedikit namun ribuan bahkan jutaan orang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Cara pandang masyarakat yang meremehkan inilah yang berakibat sangat lambannya penangan oleh pemerintah.Â
Seolah pemerintah tanpa daya, padahal segala usaha telah habis-habisan dikerahkan. Dari pembentukan tim Satgas Covid, menggelontorkan ratusan tilliun Rupiah untuk menopang ekonomi, pemberian bantuan pada masyarakat kurang mampu yang terdampak langsung, penyediaan rumah sakit untuk masyarakat yang terkena wabah hingga pengobatannya, hingga penelitian untuk menemukan vaksin.
Namun jikalau masyarakat sendiri sudah jenuh dengan keadaan yang harus dikekang karena alasan pandemi virus, segala bantuan dan kekangan hanya akan dianggap hambatan. Bermacam prasangka pun akan dimunculkan dari kebebasan yang dikebiri, pencarian nafkah yang sudah sulit lebih dipersulit, dan memunculkan rumor kalau pandemi ini memang dimunculkan.Â
Jikalau melihat fakta di akar rumput, masyarakat lebih percaya jika pandemi ini hanya ada di kota besar, hanya ada di berita. Tidak akan menyentuh mereka masyarakat di desa yang jauh dari kota besar dan jauh dari publikasi. Â
Masyarakat di sekitar saya (Pati, Jateng) mungkin sama di tempat Anda, akan menyadari kalau korona ini ada ketika orang terdekat atau tetangga mengalami musibah. Kalau betul, asumsi yang saya pakai di atas benar jika kita masih menyepelekan wabah ini.Â
Seperti kejadian tanggal 14 September 2020, saat itu tetangga (sebut saja istri Bang Hay) dalam lingkungan di rawat di rumah sakit kemudian meninggal dunia. Oleh Bang Hay langsung dibawa pulang, tanpa menunggu hasil SWAB dari rumah sakit KSH Pati.Â
Setelah mayat sampai di rumah, dan akan dikafani pihak rumah sakit datang membawa hasil SWAB yang menyatakan bahwa (almarhumah) positif Covid. Tentunya pada proses pemulangan hingga merawat jenazah akan melibatkan banyak orang, bisa saja karena anggapan tidak ada kejadian apa-apa, meninggal karena bukan Covid maka kemungkinan besar banyak yang akan terkena infeksi dari kluster istri Bang Hay ini. Â
Peristiwa ini tidak hanya sekali dua kali terjadi, seringnya masyarakat kita tanpa kesadaran yang mencukupi mengambil keputusan yang sangat berani dengan mengabaikan protokol yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Padahal ketentuan ini sudah baku, hanya karena pelaksanaan yang terlihat setengah hati maka pelanggaran itu banyak terjadi, sebagaimana di lingkungan saya itu.