Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkabarlah dengan Santun Bukan Menciptakan Kepanikan

4 Maret 2020   11:51 Diperbarui: 4 Maret 2020   12:04 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

.

Hampir dipastikan si Hadi (nama tidak asli) jika datang ke rumah memakai sarung dan berpeci, berbaju koko, akan ada kundangan alias tahlilan, atau selamatan, syukuran dan semacamnya.

Kalimat yang di ucapkan juga akan sama, "Mas kulo sowan wonten dalem njenengan dipun utus Bapak Filan, kapureh maringi kabar bilih Panajenengan mangkeh bibar bakdo Maghrib dipun suwun kerso kempal syukuran." (Mas, saya datang ke rumah anda karena disuruh Bapak Fulan, supaya memberi undangan agar agar setelah Magrib bisa datang berkumpul untuk mengadakan syukuran) Kemudian berbasa-basi sejenak sebelum Hadi berpamitan untuk mengundang tetangga-tetangga lainnya.

Ada komunikasi yang masih hidup dan terjaga dengan cara-cara tradisional untuk mengabarkan suatu peristiwa secara langsung. Jikalau undangan untuk acara tahlilan atau syukuran yang masih terpelihara  dengan kata-kata baik kalimat maupun narasinya kemudian datang langsung, padahal sudah ada peralatan yang lebih milenial cukup di grup WA atau SMS maka semua sudah mengerti.

Namun bentuk-bentuk yang tidak kasat mata, berupa nilai kebersamaan dan penghargaan kepada lainnya yang membedakan suatu bentuk komunikasi satu dengan lainnya.

Jikalau ciri khas Hadi sebagai penyambung lidah tuan rumah agar diterima, pasti akan berbeda pula saat Pak Modin yang mengabarkan  berita duka di Toa masjid. Kata-kata yang dirangkai dan intonasi pun akan sama.

Bahkan sebelum orang mendengar apa yang dikatakan Pak Modin baru berdehem-dehem saja  dari pengeras suara, pastilah akan ada berita sedih. Asumsinya mudah, tidaklah mungkin Toa dibunyikan dari masjid ketika bukan saatnya untuk sholat.  

Antara Hadi yang mengundang untuk berkumpul kondangan atau Pak Modin yang mewartakan kesedihan masing-masing mempunyai penanda yang sederhana. Karena selalu berulang-ulang dilakukan seolah-olah yang dilakukan mereka menjadi suatu ikon.

Jika mengundang untuk tasyakuran harus harus berpakaian koko dan berpeci mungkin sarungan. Sebagai bentuk menghormati yang mengundang dan yang diundang. Sementara itu kalau mewartakan sesuatu berita duka dengan suara jelas dengan intonasi yang hamper sama dengan orang yang pernah melakukannya.

kadang-kadang juga jika tugas pak Modin ataupun Hadi diganti orang untuk melakukan apa yang dilakukan mereka. Orang akan bertanya dahulu, misalnya tugas mas Hadi diganti oleh Badu kemudian pakaian yang dipakai pun tidak sama yang diapakai ketika melakukan undangan maka akan menjadi tanya jawab terlebih dahulu, maka akan sedikit merepotkan.

Lain halnya ketika mengubah tugas Hadi paling tidak menggunakan pakaian yang sering digunakan oleh Hadi maka yang diundang akan sedkit paham. Dan suatu saat jika hal yang sama sering dilakukan Badu maka yang diundang pun akan segera paham.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun