Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkabarlah dengan Santun Bukan Menciptakan Kepanikan

4 Maret 2020   11:51 Diperbarui: 4 Maret 2020   12:04 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekhasan cara menyampaikan warta hanya akan dimiliki oleh individu tidak akan pernah sama meskipun dicoba untuk meniru hingga sedetail-detailnya. Ciri khas yang melekat tidak akan pernah hilang bahkan Pak Modin pun ketika suatu saat tidak bisa menyampaikan berita dan diganti oleh orang lain, bisa jadi bukan berita apa yang disampaikan. Orang-orang akan bertanya siapa yang menyampaikan berita itu.

Dan akan menjadi keheranan saja manakala suatu pewarta menyampaikan suatu berita tidak sesuai dengan narasi yang disampaikan atau malah terlihat hiperbolis. Tidakkah akan menjadi pertanyaan besar manakala Pak modin mengabarkan duka harus menangis sesenggukkan dengan maksud agar pendengarnya merasa trenyuh. 

Atau haruskah Hadi berjoget-joget di depan orang yang diundang untuk tasyakuran untuk menggambarkan betapa bahagianya tuan rumah yang diwakilinya. Malah tanggapan lain akan diterima. O, sedang sakit.

Adalah pewarta tentang berita COVID-19 oleh suatu media televisi nasional yang sedang menggunakan masker ala pelindung gas beracun. Lebih tepatnya bukan masker tetapi topeng gas untuk melindungi pemakainya dari udara yang mengandung polutan berbahaya. Dan siapa pun ketika melihat masker yang dipakai pewarta itu maka imaji pertama yang timbul adalah telah ada bencana kerusakan udara yang sudah di luar ambang batas.

Akibatnya pun jelas, si pewarta dapat perhatian karena penampilan yang mengesankan seolah sudah ada kegawatan yang tidak bisa ditoleransikan. Dan masyarakat pun menjadi terpengaruh untuk menjadi panik.

Padahal maksud dari pewarta mungkin hanyalah ingin mengabarkan suatu berita yang tengah trending di dunia, kemudian menyatakan jika di negara Indonesia sudah ada yang terkena. Namun pembawaan yang kurang melihat situasi akan sama dalam bayangan seperti Pak Modin yang mewartakan kesedihan dengan harus menangis sesenggukkan di pengeras suara. Atau Hadi yang harus menjoget-joget karena ada berita gembira.

Apakah suatu berita akan selalu menjadi viral? Selama media selalu mewartakannya maka akan menjadi konsumsi keseharian sehingga publik pun yakin memang sedang ada sesuatu yang berbahaya makanya selalu diberitakan.

Namun sebaliknya ketika berita itu secara bijak disodorkan ke masyarakat maka penilaian positif pun akan muncul dengan sendirinya. Bukan malah memberitakan COVID-19 dengan masker gas polutan, mengapa tidak sekalian memakai kostum Halloween? Hehehehehehe....

(Wassalam)     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun