Bu Rara menghela napas panjang. Mata lelahnya menatap deretan bangku kosong di kelas. Jam pelajaran sudah dimulai, namun tak satupun muridnya terlihat. Ia mengulang pelajaran kemarin, suaranya bergema di ruangan yang sunyi. Dulu, kelas ini selalu riuh dengan gelak tawa dan pertanyaan-pertanyaan polos. Kini, hanya ada keheningan yang mencekam.
Bu Rara sudah mengajar selama 25 tahun di sekolah ini. Ia menyaksikan generasi demi generasi siswa berlalu. Dulu, ia begitu bersemangat berbagi ilmu. Namun, seiring berjalannya waktu, semangatnya mulai memudar. Gaji yang minim, beban administrasi yang menumpuk, dan sikap acuh tak acuh sebagian murid membuat hatinya lelah.
Sore itu, Bu Rara memutuskan untuk mengunjungi rumah salah satu muridnya, Haikal. Haikal adalah anak yang cerdas namun sering bolos sekolah. Bu Rara ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Haikal. Sesampainya di rumah Haikal, Bu Rara mendapati rumah itu dalam keadaan kumuh tak terurus. Ibu Haikal sedang sakit dan tidak bisa bekerja. Haikal ternyata harus bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya.
Bu Rara tertegun. Selama ini, ia hanya melihat Haikal sebagai siswa yang nakal. Ia tidak pernah membayangkan bahwa di balik sikapnya yang keras, tersimpan beban hidup yang berat. Malam itu, Bu Rara berbincang panjang dengan Haikal. Ia mendengarkan keluh kesah Haikal dengan sabar. Bu Rara menyadari bahwa banyak siswa lain yang mungkin memiliki masalah serupa.
Keesokan harinya, Bu Rara menyampaikan masalah yang dihadapi siswa-siswinya kepada kepala sekolah. Ia meminta agar sekolah lebih memperhatikan kesejahteraan siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Bu Rara juga mengusulkan diadakannya program bimbingan belajar gratis bagi siswa yang membutuhkan.
Awalnya, usulan Bu Rara mendapat penolakan. Namun, Bu Rara tidak menyerah. Ia terus berjuang hingga akhirnya pihak sekolah mau mendengarkannya. Program bimbingan belajar gratis pun akhirnya terlaksana.
Perlahan tapi pasti, semangat belajar siswa mulai meningkat. Haikal dan teman-temannya rajin mengikuti bimbingan belajar. Prestasi mereka pun mulai membaik. Bu Rara merasa sangat bahagia melihat perubahan yang terjadi pada anak didiknya.
Suatu hari, Haikal datang ke rumah Bu Rara sambil membawa seikat bunga. "Bu, terima kasih banyak atas semuanya. Ibu adalah guru terbaik yang pernah saya punya," kata Haikal sambil tersenyum.
Bu Rara tersenyum haru. Ia menyadari bahwa suara seorang guru memang bisa terdengar kecil, namun jika diucapkan dengan ketulusan dan keikhlasan, maka suara itu akan mampu mengubah hidup banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H