Mohon tunggu...
Nurul Chojimah
Nurul Chojimah Mohon Tunggu... Dosen Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung

Hobi: membaca, meneliti, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Forgive but not Forget

2 April 2025   21:37 Diperbarui: 2 April 2025   21:37 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maaf Lahir batin, ya... (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Ramadhan sudah berlalu. Gegap gempita menyambut lebaran sudah berlalu juga namun euphoria lebaran masih tampak di mana-mana. Meja ruang tamu di setiap rumah masih terpenuhi oleh toples kue, open house di rumah-rumah tokoh masih banyak berlangsung, reuni keluarga, reuni sekolah juga masih terjadi, arus lalu lintas masih sangat ramai adalah sekelumit bukti bahwa euphoria tahunan itu masih ada.

Lebaran identik dengan bermaaf-maafan yang secara fisik diwujudkan dalam bentuk bersalam-salaman dan sungkeman. Tapi, apakah khilaf dan dosa kita serta merta lebur dengan bersalam-salaman dan sungkeman? Bisa iya, bisa juga tidak. Mengapa? Banyak diantara kita yang berprinsip forgive but not forget, atau forgive yes, forget no yang artinya kesalahan bisa dimaafkan tapi tidak bisa dilupakan. Hal ini menyiratkan bahwa memaafkan bukan hal mudah. Meski bersalam-salaman sudah dilakukan, permohonan dan pemberian maaf sudah dilisankan, tetapi ternyata belum bisa meleburkan dosa. Mengapa demikian? Hal ini karena meminta dan memberi maaf secara tulus sangat berat.

Menurut Teori Kesantunan, meminta dan memberi maaf termasuk face threatening act atau tindakan yang mengganggu harga diri. Teori ini meyakini bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk dianggap bernilai, dihormati, dan diterima dalam kelompok sosial. Harga diri akan terusik jika kebutuhan ini tidak terpenuhi. Pengakuan terhadap kesalahan yang direalisasikan dalam bentuk meminta maaf berarti bertentangan dengan kebutuhan tersebut. Sebab itulah, meminta maaf yang benar-benar tulus yang didorong karena ingin mengakui kesalahan dan memperbaiki keadaan bukanlah hal mudah.

Selain itu, manusia juga memiliki kebutuan untuk bisa bebas bertindak, tidak terikat, dan tanpa keterpaksaan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini juga akan mengusik harga diri. Dihadapkan pada permohonan maaf dari seseorang yang pernah berbuat salah pada kita membuat kita berada pada posisi tidak bebas. Kita seperti dipaksa untuk bisa terlihat baik secara sosial dengan jalan memaafkan kesalahan orang lain. Jika kita tidak memaafkan, maka akan kontra produktif; kita dianggap bukan orang baik. Dengan situasi seperti ini, akhirnya kita dengan keterpaksaan melisankan: "iya, saya memaafkanmu" meski ini sebenarnya bertentangan dengan kebutuhan untuk memiliki kebebasasn dalam bertindak.  Sebab itulah, memberi maaf secara tulus yang didasarkan pada keinginan untuk menghapus masa lalu dan memperbaiki masa depan sangatlah berat.

Hal ini menyiratkan bahwa permintaan dan pemberian maaf sangat ringan di lisan tetapi berat di tindakan. Perlu effort luar biasa untuk bisa mencapai maaf yang tulus. Dari sini, saya memaklumi jika ada seseorang yang berprinsip forgive but not forget. 

Lantas, bagaimanakah kata "maaf" dan "Okay, saling memaafkan, ya.." dan frasa sejenis yang sedemikian mudah kita lisankan ketika lebaran? Untuk menjawabnya, mari sama-sama kita tanya pada diri kita apakah kita sudah bisa mengendapkan kebutuhan untuk dianggap bernilai, dihormati, dan diterima dalam interaksi sosial? Apakah kita sudah bisa mengesampingkan kebutuhan kita untuk mendapatkan kebebasan bertindak tanpa keterpaksaan? Bila dua kebutuhan tersebut belum bisa kita kesampingkan, maka bermaaf-maafan yang kita lakukan di hari lebaran hanyalah sekedar ritual tahunan yang ringan kita lisankan namun berat direalisasikan.

Dengan berbekal tempaan Ramadhan sebulan penuh, saya optimistis bahwa kita dapat lebih mengendalikan ego, menyeimbangkan kebutuhan untuk dihargai, serta belajar memaafkan dengan lebih tulus. Puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga melatih diri untuk lebih ikhlas---termasuk dalam menerima dan memberi maaf tanpa syarat. Jika kita benar-benar mengambil pelajaran dari Ramadhan, semoga maaf-maafan di hari Lebaran tidak lagi sekadar ritual tahunan, tetapi menjadi wujud nyata dari hati yang bersih dan tulus."

Malang, 2 April 2025M/3 Syawal 1446H

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun