Nunung adalah salah satu mahasiswa bimbingan tesis saya di prodi Magister Tadris Bahasa Inggris (TBI) UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Sepintas, dia tidak beda dengan bimbingan saya lainnya. Dia selalu bikin janji sebelum konsultasi, dia selalu patuh dengan janji yang sudah disepakati, dan dia selalu memanfaatkan waktu konsultasi untuk bertanya banyak hal terkait tesisnya. Dia tanya banyak hal tentang  riset dan speech act atau tindak tutur yang merupakan topik tesisnya. Selama konsultasi dia beberapa kali menyebut bahwa menulis tesis cukup berat baginya karena pengetahuannya tentang ilmu pragmatik, cabang ilmu di mana speech act dibahas, sangat minim karena Ketika S1 dia tidak pernah mendapat mata kuliah pragmatik. Minimnya pengetahuan dan pengalaman tentang riset adalah kendala lain baginya sehingga tesis menjadi terasa agak berat.
Pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan mendorong saya untuk bertanya banyak hal tentang latar belakangnya. Akhirnya saya tahu bahwa dia menyelesaikan S1 ketika dia menjadi pekerja migran di Hongkong. Berdasarkan cerita darinya, dia bekerja di Hongkong selama enam tahun dengan majikan yang berbeda. Di dua tahun pertama dia menjaga dua balita yang sangat menguras tenaga dan pikirannya karena sang majikan kurang  bersahabat. Kemudian dia berganti majikan dan menghabiskan dua kali kontrak selama empat tahun. Tugasnya menjaga seorang lansia di keluarga yang sangat baik dan sangat akademis. Sifat keluarga majikan yang lapang dada dan cinta akademik inilah yang membuat Nunung mendapat ijin untuk menempuh kuliah di Universitas Terbuka (UT) di Fakultas  Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Sastra Inggris. Di tengah-tengah kesibukannya menjaga seorang lansia dan pekerjaan rumah tangga lainnya, Nunung mempelajari modul yang dibagikan oleh UT, mengerjakan tugas-tugas, dan sesekali kuliah daring. Dengan berbagai kendala yang ada, akhirnya gelar sarjana diraih Nunung dalam waktu empat tahun.
Sekembali dari Hongkong, dengan pertimbangan merasa ilmunya sangat minim, Nunung melanjutkan studi S2 di prodi Magister Tadris Bahasa Inggris UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Dalam waktu empat semester Nunung berhasil menyelesaikan studinya dan dia berhak menyandang gelar Master Pendidikan Bahasa Inggris (M.Pd).
Minimal ada dua catatan yang bisa saya pelajari dari Nunung. Pertama, tentang persistence alias ketangguhan. Untuk bisa keluar dari zona di mana kita berada dan menuju zona yang lebih baik, persistence adalah mutlak. Jauh dari orang tua dan berada di negeri orang dengan status sebagai tenaga migran bukanlah perjuangan ringan. Penyesuaian terhadap perbedaan budaya dan bahasa, peran sebagai asisten rumah tangga dari seseorang yang sangat asing adalah tugas keseharian yang tidak bisa dianggap remeh. Hanya mereka yang tangguh saja yang bisa menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut. Di sisi lain, studi jarak jauh seperti yang diterapkan UT bukan pula tantangan ringan bagi mahasiswa. Belajar jarak jauh menuntut mahasiswa bisa mandiri dalam banyak hal, termasuk dalam memahami materi dan menyelesaikan soal-soal. Independent learning adalah prinsip yang diterapkan dalam belajar jarak jauh. Kehadiran dosen secara fisik tidak diperlukan sehingga mahasiswa harus bisa menyelesaikan sendiri ketika menghadap kesulitan, baik dalam pemahaman materi ataupun hal lainnya.
Peran sebagai ART bagi lansia di negeri seberang dan tugas sebagai independent learner adalah stressor yang sangat berat sehingga perlu ketangguhan dalam banyak hal untuk mengatasinya. Dalam hal ini Nunung bisa membuktikan ketangguhannya. Dia bisa bertahan di negeri orang selama enam tahun dengan pengalaman di dua keluarga dengan beda karakter. Dia pun mampu menyelesaikan sarjana dengan tepat waktu, yaitu empat tahun. Durasi yang sedemikian adalah bukti bahwa dia lulus uji penyesuaian lingkungan, dia lolos ujian bahasa dan budaya, dan dia juga mulus melewati uji batin dan mental ketika harus meladeni 'kerewelan' orang sepuh dengan kondisi kurang sehat. Selain itu, Nunung juga menunjukkan ketangguhannya secara akademik. Diraihnya gelar Sarjana Sastra Inggris adalah bukti nyata bahwa uji ketangguhan akademik telah terlampaui.
Hal lain yang saya catat dari Nunung adalah management. Menjalankan peran sebagai asisten orang sepuh yang sedang sakit tidaklah mudah. Permintaan layanan dari sang majikan sering datang tanpa mengenal waktu sehingga sang asisten dituntut untuk siap sedia sepanjang waktu. Di lain pihak, deadline tugas dari kampus juga sering tanpa kompromi. Tuntutan dari majikan dan deadline tugas dari kampus harus terjalani dengan baik. Menyeimbangkan keduanya tidaklah mudah. Penyusunan skala prioritas menjadi keniscayaan; jika tidak, salah satu pasti ada yang terbengkalai. Sepertinya Nunung bisa menyeimbangkan keduanya. Penerimaan sang majikan akan kinerjanya dan terselesaikannya studi di UT adalah bukti nyata kemampuannya dalam mengelola semua kapital yang dia miliki: waktu, tenaga, dan pikiran.
 Perjalanan Nunung dari seorang pekerja migran hingga menyandang gelar Master Pendidikan Bahasa Inggris adalah bukti nyata bahwa ketangguhan, manajemen yang baik, dan semangat belajar mampu membawa seseorang melampaui berbagai keterbatasan. Kisah ini mengajarkan kita bahwa pendidikan tidak hanya soal kecerdasan akademik, tetapi juga tentang keberanian menghadapi tantangan, komitmen terhadap tujuan, dan kemampuan mengelola diri. Nunung telah menunjukkan bahwa dengan kerja keras dan tekad yang kuat, tidak ada halangan yang terlalu besar untuk diatasi. Akhirnya, saya sampaikan selamat kepada Nunung yang telah sukses beralih dari a caregiver to a master.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H