Tulisan ini nyaris saja tidak saya selesaikan mengingat rutinitas pekerjaan yang menyita waktu keseharian. Ditambah lagi dengan tugas utama saya mendidik generasi yang saya lahirkan sendiri. Saya tertantang oleh diri saya sendiri ketika mengingat zaman kuliah S1 dahulu, saya pernah diminta menjadi narasumber sebuah forum diskusi di suatu elemen gerakan eksternal kemahasiswaan di lingkungan kampus Gadjah Mada. Saya ingin mengetes sejauh mana ingatan saya dalam menganalisis isu kesetaraan gender yang selalu hangat dibicarakan orang menjelang atau setelah peringatan Hari Kartini.
Ada satu buku menarik, menimbulkan polemik, namun berkesan di hati saya. Membiarkan Berbeda. Waktu itu saya memberikan kode "wajib beli" pada buku ini. Tidak sekadar "wajib baca" saja. Dikarang oleh seorang perempuan cerdas yang segera menjadi salah satu idola saya setelah saya melahap habis isi bukunya. Pelopor pendidikan holistik berbasis karakter yang sedang menjadi tren sekarang ini. Dia adalah Ir. Ratna Megawangi, M.Sc., Ph.D. Profil beliau ingin sekali saya jadikan role model tapi rasanya bagaikan pungguk merindukan bulan, antara saya dan beliau begitu jauh perbedaannya.
Ibu empat orang anak yang menamatkan S2 dan S3-nya di Tufts University, Massachussets, Amerika Serikat ini justru makin teguh dengan konsepnya memperkuat institusi keluarga pada saat ia menimba ilmu di negeri barat. Tentunya hal ini tak lepas dari aktivitas kesehariannya sebagai dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Keluarga di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga di IPB.
Saya merasa beruntung mengenal beliau meski hanya dari karyanya. Karena dari pemikirannya itulah saya menemukan sudut pandang baru tentang relasi gender yang rasanya pas sekali untuk perempuan Indonesia. Tanpa perlu 'ngotot' meminta hak untuk total disetarakan, karena laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling bekerjasama, bukan untuk saling bersaing secara diametral, tetapi berdampingan dengan perbedaan fisik yang telah dikaruniakan Allah SWT. Kesetaraan dalam keragaman.
Setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini. Sedari mengenyam pendidikan dasar, para guru menceritakan sosok perempuan Indonesia yang menjadi simbol kebangkitan semangat perubahan kaum perempuan. Kumpulan surat-surat Kartini untuk sahabat-sahabat korespondensinya, antara lain Rosa Abendanon dan Estella H. Zeehandelar di Belanda sungguh fenomenal, Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat tersebut menjadi satu buku. Diakui bahwa sedikit banyak, pemikiran Kartini dipengaruhi pemikiran sahabat-sahabat Yahudinya itu. Namun tulisan ini tidak hendak memfokuskan diskusi pada bahasan tersebut.
Perempuan yang hidup setelah era Kartini merasakan efek kebangkitan spirit dahsyat emansipasi. Pemikiran kartini mengubah mindset bahwa perempuan yang sebelumnya hanya berkutat di tiga area "ur"-meminjam istilah seorang ulama kondang- di sumur, di dapur dan di kasur, menjadi leluasa berkiprah di ranah publik sebagaimana halnya laki-laki. Perempuan bisa bersekolah setinggi-tingginya, berkreativitas, bekerja di luar rumah dan melahirkan ide-ide inovatif dari pikirannya.
Namun sayang belakangan nilai-nilai positif yang diusung oleh Kartini ini sedikit demi sedikit tereduksi menjadi pengertian terhadap emansipasi yang salah kaprah oleh sebagian perempuan itu sendiri. Dengan mengatasnamakan kaum feminis, mereka menggaungkan tuntutan yang dinamakan kesetaraan gender sama rata sama rasa (50/50, baca: fifty fifty). Sepintas gerakan ini tampak baik sekali. Secara etika, moral dan agama kita memang dianjurkan untuk membantu kaum yang lemah.Â
Dalam hal ini pihak yang disebut lemah, tertindas dan termarginalkan adalah perempuan. Penerjemahannya dalam level praksis seringkali teori feminisme mainstream yang bermula dari awal abad 20 itu dipahami secara parsial oleh generasi muda sekarang ini. Terkadang tuntutan-tuntutan kesetaraan gender dilontarkan tanpa pemahaman yang komprehensif, pada akhirnya malah menjadi alat propaganda untuk mencapai tujuan politis golongan tertentu.
Feminisme memiliki kemiripan dengan paradigma Marxis yang selalu membenturkan antara si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, si berkuasa dan si tertindas. Marxisme melihat institusi keluarga adalah 'musuh' pertama yang harus dilenyapkan jika ingin menciptakan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama berperan baik di luar maupun di dalam rumah.
Keluarga dianggap cikal bakal dari segala ketimpangan sosial yang ada, terutama hubungan yang dirasa tidak setara antara suami dan isteri. Suami mengambil peran di ranah publik sementara sang isteri lebih banyak berjibaku dengan peran-peran pengasuhan. Feminis menganggap para perempuan perlu disadarkan akan kondisi 'tertindas' ini. Â
Sejalan dengan bahasa dan istilah yang sering digunakan oleh paham Marxis seperti pemberdayaan kaum tertindas, perubahan struktural atau revolusi, penyebaran isu antikemapanan atau antikaum borjuis/patriarkal. Feminis memberi label bahwa perempuan-perempuan yang rela meninggalkan karirnya di luar rumah meski ia memiliki ijazah adalah korban dari indoktrinasi stigma romantisasi peran sebagai ratu rumah tangga yang selalu ditanamkan ke benaknya oleh kaum laki-laki, khususnya sang suami.