Mohon tunggu...
Nurhilmiyah
Nurhilmiyah Mohon Tunggu... Penulis - Bloger di Medan

Mom blogger

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merefleksi Emansipasi Kartini

21 April 2018   12:32 Diperbarui: 21 April 2018   12:41 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dok. Pribadi

Di saat yang sama, dunia membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, bermoral baik dan tetap peduli kaum yang lemah. Individu-individu seperti ini mustahil dilahirkan dari relasi sosial yang tidak harmonis. Lembaga keluarga yang sehat adalah salah satu wadah yang paling efektif untuk menciptakan pribadi-pribadi berakhlak mulia, sebagai tempat anggotanya belajar untuk saling menghormati, membina hubungan saling menghargai, melindungi dengan penuh kasih sayang walaupun peran masing-masing anggotanya berbeda-beda. Yang sebaiknya kita lakukan untuk membenahi semuanya adalah menggali potensi rasa cinta dalam hati kita, sehingga relasi sosial yang harmonis, penuh kedamaian, dan rasa saling menghormati itu dapat terwujud.

Kesetaraan yang diupayakan dengan jalan kebencian terhadap si berkuasa tidak akan membuahkan hasil secara optimal. Sesuatu yang dimulai dengan kemarahan hanya akan mendatangkan kemarahan lagi. Itulah salah satu poin ketidaksepakatan dengan paham Marxisme dalam hal kesetaraan gender ini.

Tak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan perempuan tetap memiliki perbedaan secara kodrati. Kaum feminis bersikeras menyatakan bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan semata-mata karena produk budaya atau konstruksi sosial yang patriarkal, bukan karena perbedaan biologis, nature atau genetis. 

Terjadi kontradiksi di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, kaum feminis mendapati banyak contoh perempuan modern yang mengidap suatu sindrom menurut Colette Dowling, yaitu Cinderella Complex. Kondisi di saat para perempuan yang sudah bebas mandiri, ternyata jauh di dalam lubuk hatinya masih memerlukan perlindungan dari laki-laki. Namun para laki-laki ternyata juga telah terbebaskan, mereka sudah tidak mau lagi memberikan perlindungan kepada kaum perempuan. Karena dianggap sudah setara dan menjadi saingan mereka.

Akhirnya suka atau tidak suka tuduhan penyebab kondisi tersebut berbalik, menjadi bumerang, kembali mengarah kepada paham feminisme, kesalahan ditujukan pada kaum feminis. Pertanggungjawaban dimintakan kepada pengusung kesetaraan gender yang benar-benar ingin setara tanpa menyadari bahwa secara alamiah perempuan dan laki-laki memang diciptakan berbeda untuk saling mengisi dan saling melengkapi.

Saya sepakat dengan sudut pandang yang arif untuk membenahi carut marut definisi kesetaraan gender menurut Ratna Megawangi, yaitu memandangnya sebagai relasi yang komplementer. Walaupun perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda namun bersatu dalam mencapai tujuan yang sama. Meredefinisikan pengertian kesetaraan gender, mengakui bahwa memang ada perbedaan alamiah antara perempuan dan laki-laki, yaitu melalui konsep kesetaraan dalam keragaman.

So, masih ingin ngotot benar-benar setara?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun