Mohon tunggu...
Nurhilmiyah
Nurhilmiyah Mohon Tunggu... Penulis - Bloger di Medan

Mom blogger

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guruku Pahlawanku

10 November 2017   18:11 Diperbarui: 10 November 2017   18:38 2518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Namanya Zulmawati, kami biasa memanggilnya Bu Zul. Waktu itu usianya memasuki BUP Guru satu tahun lagi. Hari pertama anak saya yang nomor tiga bersekolah, beliau menyambut dengan senyum yang meneduhkan. Tak banyak kata yang dikeluarkannya. Dari sikapnya, siapapun yang mengajaknya bercakap-cakap bisa merasakan bahwa ia perempuan yang lembut. Berbanding terbalik dengan medan pekerjaan yang mesti dihadapinya. Kelas satu SD. 

Anak-anak kecil yang baru lulus TK satu bulan itu, memiliki bermacam-macam keadaan. Ada yang menangis dan mengharuskan ibunya juga duduk di sebelahnya. Yang di sisi kanan tampak mulai berani menaiki bangku. Putri saya yang di rumah biasa bercuap-cuap bagaikan burung Murai, masih diam seribu bahasa. Agaknya ia sedang membaca situasi dan kondisi di sekelilingnya. 

Waktu itu orang tua diperkenankan menunggui anaknya sampai kelas berakhir. Kebetulan kampus tempat saya mengajar masih libur semester ganjil. Saya memanfaatkannya untuk menemani anak di hari pertama sekolah. Demi mengingat himbauan Mendikbud Anies Baswedan waktu itu, gerakan mengantar anak ke sekolah. Mengusung tagline, "antar dengan bangga, lepas dengan doa". 

Meskipun saya sempat berdiskusi dengan suami. Bagaimana pula dengan anak-anak guru. Di saat para wali murid bisa mengantarkan putra putrinya di hari pertama sekolah, para guru diwajibkan 'stand by' di depan kelas menyambut siswa siswi baru bersama orangtuanya. Tulisan kali ini sedang tak membahas hal itu. Ambil saja segi positifnya.

Saya penasaran dengan cara Bu Zul mengendalikan keadaan kelas. Bagaimana teknik dan manajemen lokal yang isinya anak-anak dengan berbagai tingkah laku. Saya bayangkan waktu anak kami masih tiga orang saja, kalau sedang bermain di rumah, apalagi rebutan mainan, perang ocehan, wow.. suasananya cukup gaduh. Lha ini anak-anak orang, tidak ada 'bonding' antara ibu dan anak, bisa dimaklumi jika lumayan menguji kesabaran gurunya. 

Pasti sangat berbeda penanganannya untuk pendidikan orang dewasa seperti di kampus (andragogi). Tampaknya paradigma pedagogi lebih membutuhkan kesabaran yang ekstra. Bu Zul maju beberapa langkah mendekati dan menenangkan murid-muridnya. Sebagian besar langsung diam dan duduk manis di bangku masing-masing. Seorang anak masih berlarian di depan kelas. Sepertinya ia sudah merasa 'at home' di hari pertama sekolah. 

Bu Zul menghampirinya, memegang bahunya, merundukkan badannya hingga sepantar dengan si anak. Entah apa yang dikatakannya, kami ibu-ibu yang berdiri di pintu kelas kurang dapat mendengar pembicaraan mereka. Lebih terlihat seperti bisik-bisik. Ajaib, anak yang tak bisa berdiam diri itupun langsung menurut dan kembali ke bangkunya.

Jam terbang tak bisa bohong. Masa kerja tiga puluh tahun lebih menjadi wali kelas satu tentulah menempanya sedemikian rupa. Hingga suaranya yang pelan saja, sanggup menentramkan seisi kelas. Mungkin inilah yang disebut guru kharismatik. Pengajar yang berwibawa. Mengajar bukan hanya karena panggilan perut tetapi lebih kepada panggilan jiwa. 

Menghayati perannya sebagai pendidik. Mengutamakan keikhlasan dalam mengajari generasi bangsa, dengan segenap jiwanya. Pastilah ia mengajar dengan hati. Kalau tidak, takkan mungkin anak-anak kecil yang bukan anak-anak yang lahir dari rahimnya itu, bisa tunduk dengan senang hati, merasa disayangi dan didambakan oleh gurunya. 

Tipe sepertimu nyaris jarang dijumpai zaman sekarang ini, Bu Zul. Saya pun memetik pelajaran darimu. Mendidik generasi tak cukup dengan perintah dan larangan. Memanusiakan peserta didik, sabar menunggui pertumbuhan mereka. Memahami fitrah tunas bangsa dalam menuntut ilmu. Mendidik dengan sebenar-benar mendidik. Mengajar dengan melibatkan hati. Terima kasih Bu Zul, bagi saya, ibulah salah seorang pahlawan itu. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun