Pak Habibie menjalani terapi pasca kematian istri tercinta Ibu Ainun melalui tulisan, yang kemudian bisa kita baca dalam buku “Ainun dan Habibie”
Bagaimana sebenarnya menulis (terutama menuliskan pengalaman emosional) bisa berfungsi sebagai terapi diri? Tulisan ini bersumber pada beberapa teori psikologi, khususnya terkait mental health. Bagi saya yang berprofesi sebagai psikolog dan juga menyukai dunia menulis, hal ini menarik. Barangkali juga bisa menebar manfaat bagi Anda semua. Yuk, kita simak.
Menulis menghilangkan hambatan emosional (inhibisi)
Ketika seseorang mengalami pengalaman emosi yang kuat, ada kalanya ia mengalami hambatan untuk mengungkapkan atau menceritakan kembali pengalamannya tersebut. Menuliskan kisah yang bermuatan emosi negatif misalkan, akan mengurangi stress yang disebabkan oleh hambatan emosi.
Ketika seseorang kehilangan orang yang dicinta, bisa jadi ia masih belum sepenuhnya bisa move on, meskipun dari luar orang melihatnya kembali ceria. Rasa sedih, rasa bersalah, dan berbagai perasaan yang masih membebani diri. Pikiran yang tidak semuanya positif terhadap hal buruk yang menerpa. Belum lagi berbagai “what if…” yang masih bergelayut. Hal ini bisa mewujud dalam memburuknya kondisi kesehatan. Kondisi sakit yang terkait stress biasa disebut dengan psikosomatis. Maka, di sini ketika seseorang menuangkan luapan emosinya dalam bentuk tulisan, ia memberikan ruang bagi emosi yang terhambat itu untuk bisa keluar.
Pennebaker (1997) menyatakan bahwa pikiran yang mendesak, perasaan atau perilaku yang terkait pergolakan emosional adalah sesuatu yang penuh stres. Dengan membiarkan pengalaman ini keluar, membicarakan pengalaman ini dapat mengurangi stres yang disebabkan oleh hambatan emosi.
Menulis baik untuk perkembangan kognitif
Ini kabar baik dong, untuk penulis. Tentu sebenarnya, menulis sebagai sarana terapi tidak mensyaratkan tulisan yang sepanjang berapa kata, berapa bab, apalagi menjelma buku. Hanya, kalau tulisan kita diterbitkan dan beredar secara luas, tentu memungkinkan lebih banyak orang yang bisa memetik manfaat dari tulisan kita tersebut, bukan?
Greenberg, dkk (1996) menyatakan bahwa melakukan konfrontasi dengan cara menceritakan kembali peristiwa emosional baik secara lisan maupun tulisan dapat membantu proses asimilasi kognitif terhadap peristiwa emosional tersebut. Saat peristiwa emosional terjadi, biasanya kognitif seseorang tidak bekerja optimal. Menceritakan kembali peristiwa emosional memberikan kesempatan pada kognisi untuk memproses suatu kisah bermuatan emosional secara lebih baik.
Tulisan dapat membantu seseorang melakukan konfrontasi terhadap pengalaman emosi maupun sudut pandangnya terhadap pengalaman tersebut. Konfrontasi mengizinkan individu untuk mengubah penilaian semula terhadap peristiwa bermuatan emosi negatif dan memiliki penilaian baru yang lebih netral atau bahkan bermakna positif.
Contoh buku yang semacam ini adalah buku yang bersumber dari kisah nyata. Seperti Serial Chicken Soup for The Soul. Contoh lain: Buku “Berdamai dengan Ayah: Sebuah Antologi Kisah Nyata Relasi Ayah dan Anak dengan Ulasan Psikologi.”