Kerikil-Kerikil Kecil: Menghadapi ART “Kreatif”
Kisah ini adalah kisah nyata. Nama dan lokasi disamarkan demi kenyamanan bersama :)Tadinya saya sempat ragu untuk men-sharing-kannya. Namun kemudian saya memutuskan untuk sharing, semoga bermanfaat. Amin.
Saya tinggal di rumah induk ini hingga kini, yang artinya sepanjang usia saya. Namun selama itu pula kami tidak pernah kehilangan uang atau benda-benda berharga lain. Segala Puji Bagi-Nya semata. Namun beberapa bulan terakhir, mulailah "ujian" tersebut menghampiri kami. Terkadang uang belanja berkurang secara ajaib, atau uang di dompet suami menghilang barang satu atau dua lembar 100ribu. Bahkan uang pensiun ibu saya pun terkadang lenyap entah ke mana. Saya sendiri termasuk yang "sembrono" dalam hal menyimpan uang. Dan bisa saya pastikan kalaupun ada sebagian uang di dompet saya berpindah tangan secara "ghaib" saya bahkan tidak menyadarinya. Meskipun ada istilah "ajaib" ataupun "ghaib" dalam kisah ini, suwer pasar klewer deh saya bukan sedang membicarakan tuyul ataupun saudaranya: si mbakyul.
Saya berdiskusi serius dengan suami tentang masalah ini, dan bak detektif Hercule Poirot-nya Mbak Agatha Christie, kami pun mencoba menyelidiki "kasus ini". Awalnya keluhan ibu saya tentang kehilangan uang saya tanggapi dengan santai saja. Namun ketika keluhan tersebut berulang hingga beberapa kali dan ibu mulai bercerita pada salah seorang "rewang" (asisten rumah tangga atau ART, red) kami, barulah saya terbangun dari "tidur". Yup, kalau tadinya saya merasa rumah saya “kebal” alias “anti maling", sepertinya kali ini si maling itu kemungkinan besar ya merupakan “orangdalam" alias "penghuni" rumah saya sendiri.
Kami memang mempekerjakan dua ART. Sebutlah si Mbak A yang tugas utamanya adalah menemani dan membantu mengasuh dan menjaga anak saya, dan si Mbak B yang tugas utamanya adalah menemani, membantu, dan melakukan “pengawasan” pada ibu saya yang sudah empat kali terkena stroke.
Hal yang pertama saya lakukan adalah"menginterogasi" ibu dan suami saya sendiri untuk memastikan bahwa lembaran-lembaran uang itu memang hilang dan bukannya tercecer entah di mana karena kita lupa ataupun lalai. Hasilnya: ibu saya sangat yakin. Apalagi suami saya yang (alhamdulillah) super teliti dan cermat terhadap arus keluar-masuknya uang.
Kisah ini memang bukanlah kasus korupsi kelas kakap sebagaimana yang dilakukan oleh para tersangka yang tertangkap tangan KPK sebagaimana kita lihat di televisi atau baca di koran. Namun terus terang saja, bagi kami sangat mengganggu.
Investigasi selanjutnya yaitu bertanya pada Mbak A mengenai beberapa hal seraya meyakinkan dia (yang sudah lebih dari lima tahun setia membantu kami) bahwa tidak ada secuil pikiran pun di benak kami bahwa dia turut menjadi alternatif “tersangka”-nya.
Sebagai “detektif dadakan”, kami hanya punya satu tersangka. Jadi enggak perlulah memanggil Sherlock Homes ataupun Detektif Conan Edogawa. Maka saya pun bertandang ke rumah kakak lelaki saya yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumah Mbak B.
Di sini misteri mulai terpecahkan. Kakak saya, berdua dengan istrinya memang melihat perilaku janggal Mbak B semenjak ia bekerja menjaga ibu. Dari yang semula musti berhutang ke sana kemari "hanya" sekedar untuk mengisi perut, kemudian menjadi "gila belanja". Mulai dari belanja bahan makanan yang "agak wow", memakai baju yang bergonta-ganti, mampu membeli perkakas rumah tangga, dan lain-lain. Hingga kakak saya dan istrinya tergelitik untuk bertanya yang intinya adalah: "Kamu bayar berapa sih ke Dia?”
Saya yang merasa "dikhianati", bahwa kepercayaan kami yang meminta dia menjaga ibu kami baik-baik ketika kami bekerja, dan menemani ibu kami di kala malam tiba telah disalahgunakan oleh Mbak B merasa "mendidih". Jujur, ketika saya dan suami bekerja kami sepenuhnya sudah mempercayakan rumah dan seisinya pada kedua orang ART kami tersebut. Dan inilah saya, diliputi rasa kesal atau bahkan mungkin bukan sekedar itu. Karena sempat terlontar dari mulut saya ucapan yang cukup keras: "Pokoknya, saya nggak sudi "ngingoni maling”. Titik!"
Tatkala emosi saya mulai mereda dan kepala saya mulai mendingin, saya mulai bisa mengontrol mulut saya dan saya minta suami saya menyampaikan "hal itu" pada Mbak B. Bukan bernada menuduh ataupun emosional, namun dengan pilihan kata-kata yang sangat hati-hati dan rasional "ala laki-laki". Dan suami saya pun menyetujuinya, bahwa dia lah yang akan menyampaikan semua yang dirasa perlu ke Mbak B.
Mengapa saya memberi judul kisah ini "Kerikil-Kerikil Kecil"? Tak lain bahwa saya mencoba memaknai peristiwa ini sebagai salah satu ujian Tuhan yang Dia percayakan pada kami untuk menempuhnya. Kalau kami mengaku sebagai makhluk yang sabar, maka ini adalah ujian "Sejauh manakah kesabaran kami terhadap seseorang yang berbuat kesalahan tepat di bawah atap rumah kami?" Kalau kami mengaku ikhlas memberikan sejumlah nominal rupiah kepada dia, maka ini adalah ujian "Seberapa ikhlas kami memberikannya sebagai kompensasi pekerjaan menemani ibu kami?"
Terkadang kita yang "cuma seorang manusia" ini merasa gedhe rasa bahwa kita mampu menangani dan menghadapi "Hal-hal besar". Kita lupa bahwa manusia seringkali "jatuh tersungkur" akibat tersandung "kerikil-kerikil kehidupan".
Ya. Kami memilih memberikan kesempatan ke dua pada Mbak B. Sebagaimana saya kutip dari suami, kami tidak secara "kasar" menuduh Mbak B mencuri. Suami saya hanya meminta Mbak B untuk menjaga sungguh-sungguh ibu kami karena penyakit ibu, sebagaimana banyak dialami orang yiang berusia lanjut lainnya, bukan hanya terkait dimensi fisik, namun juga dimensi pikiran. Suami saya meminta Mbak B untuk serius dan bertanggung jawab akan tugasnya (karena kami terkadang melihat ibu kami mencuci piring sendiri sementara dia "enak-enakan" duduk sambil menyaksikan ibu kami dengan alasan ibu kami lah yang memaksa untuk beraktivitas, dan masih banyak "temuan-temuan" lainnya).
Tentu kami juga perlu membenahi diri. Dari yang semula "hobby" meletakkan uang dan dompet "sembarangan", menjadi lebih rapi menyimpanny. Kami pun melengkapi lemari ibu dengan kunci sehingga lebih aman dari "tangan-tangan kreatif" yang tidak bertanggung jawab itu.
Ya. Boleh jadi Mbak B memang bersalah. Namun, siapa manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan? Ya. Boleh jadi tidak ada jaminan bahwa Mbak B tidak akan mengulangi perilaku “kreatif”-nya tersebut. Kami sadar itu, namun kami memilih untuk berbaik sangka padanya. Boleh jadi orang lain menganggap keputusan kami mempertahankan Mbak B adalah suatu keputusan konyol, namun kami telah memilih melakukan apa yang terbaik menurut kami.
Selebihnya, saya memilih untuk membebaskan orang lain menilai positif ataupun mencela apa yang telah menjadi keputusan kami. Tuhan selalu membuka pintu maaf dan ampunan-Nya lebar-lebar. Dan siapakah kami ini untuk men-judge seorang manusia dari sisi negatifnya semata?
Rasa damai yang kami rasakan, kami maknai seakan Tuhan “berbisik” pada kami bahwa kami mampu melewati ujian "kerikil-kerikil kecil" yang diberikan-Nya pada kami. Ujian keikhlasan, kesabaran, atau bahkan sejauh mana kami bersyukur telah "memiliki" dua orang ART yang setia di saat demikian banyak orang dan teman-teman merasa sedemikian sulit mencari ART saat ini. Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H