Dunia Siber (Dunia Maya): Dunia Tanpa Perlu Etika?
Apakah kita benar-benar bebas menulis, berkomentar, mengekspresikan apa saja dalam dunia maya? Apakah ketika kita berlindung di balik avatar atau diselimuti tudung anonimitas artinya kita bebas berbuat apa saja?
Kalaupun kita tetap menggunakan akun sesungguhnya, apakah kita kemudian bisa berbuat apa saja? Bebas menyebarkan berita apa pun juga? Tanpa perlu mencari data dan fakta? Berbekal kepingan informasi yang entah kita peroleh dari mana, kemudian kita merasa 'harus' menyebarluaskan 'kebenaran' itu?
Seorang teman berkata, “Sesuatu yang viral itu seakan sudah pasti benar. Apalagi kalau sesuatu itu kita anggap menarik, lucu, penting, dan berbagai alasan sejenis. Sepertinya lucu dan keren saja, ya, menyebarluaskan postingan viral. Terkadang kita khawatir dianggap tidak apdet atau nggak kekinian. Apakah juga tetap lucu, tetap keren, dan tetap menarik: kalau Kamu yang menjadi postingan yang diviralkan?”
Hmm, mak jleb, ya? Kita jadi mikir, dong?
Benar nggak, hal yang kita share secara membabi buta tersebut? Sudah sempat mencari tahu (sedikit) lebih jauh belum? Sudah memeroleh gambaran utuh tentang postingan tersebut kah?
Bagaimana kalau kita termasuk salah satu dari mereka yang menertawakan Si Anak? Anak yang seharusnya perlug mendapatkan empati dari kita semua? Bagaimana kalau kita justru yang tanpa pikir panjang memviralkannya? Bagaimana kira-kira perasaan Si Anak? Bagaimana kalau cyberbullying yang kita lakukan terhadap Si Anak tersebut kemudian memicu hal-hal negatif di luar jangkauan tangan kita?
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah kisah penuh hikmah. Ketika seorang guru (ulama) bijak memberikan sebuah metafora akan bahaya fitnah terhadap santrinya menggunakan bulu-bulu ayam. Sang Santri yang merasa telah khilaf menyebar fitnah bertanya pada sang ulama apa yang bisa ia lakukan. Sang Guru membekali santri tersebut sebuah kemoceng, yang kemudian diminta olehnya mencabuti helai demi helai bulu kemoceng tersebut. Fitnah/kabar tidak benar yang beredar ibarat bulu-bulu kemoceng yang kita cabut tadi. Ketika pada akhirnya kita menyesal, dan ingin mengumpulkan setiap helai bulu-bulu tersebut, ternyata menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Bahkan kita sulit untuk melacak ke mana terbangnya bulu-bulu tersebut. Kalaupun orang yang pernah kita sebarkan kabar tak benar tentangnya itu telah sanggup memaafkan kita, hal itu tidak serta merta menghentikan laju keburukan yang telah ditimbulkan berita fitnah tersebut. Maka, benar adanya bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan terhadap seseorang. Orang tersebut boleh jadi masih hidup, namun kita membunuhnya dari berbagai sisi. Naudzubillah min dzalliik.
Bagaimana dengan Bullying terhadap Seseorang (Atas Karyanya)?
Baru-baru ini santer beredar sebuah postingan tentang sebuah karya (buku) dari seorang penulis (F). Sebagai pengguna media sosial, saya pun sempat melihat beberapa postingan terkait hal tersebut. Reaksi spontan saya melihat sesuatu postingan viral (sebagaimana kebanyakan orang) adalah ingin tahu.
Pertama, karena penulis F (bagi mereka yang concern dengan dunia bacaan anak) cukup punya nama, maka tinggal search di search engine, maka dalam hitungan detik kita dengan mudah memperoleh beberapa informasi awal mengenai diri dan karyanya. Bahkan, penulis F memiliki situs pribadi yang menampilkan berbagai karyanya.