Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahaya Grooming Para Pedofil terhadap Anak-anak: Save Our Children!

2 September 2016   15:50 Diperbarui: 2 September 2016   18:01 1670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pedophilia is termed pedophilic disorder in the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), and the manual defines it as a paraphilia involving intense and recurrent sexual urges towards and fantasies about prepubescent children that have either been acted upon or which cause the person with the attraction distress or interpersonal difficulty.[1] The International Classification of Diseases (ICD-10) defines it as a sexual preference for children of prepubertal or early pubertal age.[4](sumber)

Jadi, di dalam DSM V yang menjadi acuan para psikolog dan psikiater, pedofilia tergolong suatu gangguan yang melibatkan dorongan yang kuat serta fantasi seksual terhadap anak-anak kecil (pra-pubertas). ICD-10 mendefinisikannya sebagai preferensi seksual terhadap anak-anak yang belum puber atau yang baru mengalami pubertas.

Waspada Grooming

Secara sederhana, kita bisa garis bawahi bahwa Pedofil merupakan individu yang mengalami ketertarikan seksual pada anak-anak / remaja / mereka yang berusia sangat muda. Tak mudah mengenali seseorang yang merupakan pedofil., karena secara kasat mata para pedofil tampak seperti orang-orang pada umumnya. Namun, kita perlu mengenali perilaku tak wajar yang biasa dilakukan pedofil untuk mendekati dan menjerat anak-anak. Hal inilah yang biasa diistilahkan dengan grooming.

Grooming adalah upaya seseorang untuk memperoleh kepercayaan anak, dan secara perlahan ia bisa meningkatkan pendekatan terhadap anak (baik emosi, fisik, dan akhirnya: seksual) sehingga mempermudah pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Terkadang grooming pelaku bisa sangat samar sehingga membingungkan anak, dan tanpa sadar ia terjebak dalam sexual abuse yang dilakukan pelaku. Grooming bisa terjadi offline(langsung, di dunia nyata) ataupun online (memanfaatkan media internet).

Seseorang yang sedang melakukan grooming bisa melakukan sentuhan terhadap anak secara bertahap. Ia berupaya membuat anak mentoleransi sentuhan tak wajar tersebut. "Bermain rahasia kita" seringkali menjadi jurus andalan para pedofil untuk menjebak calon korbannya sehingga diharapkan perilaku kejinya tidak terkuak oleh korban. Ketika anak menarik diri, mengeluh sakit tanpa sebab yang jelas, apalagi mengeluhkan sakit di tempat area privatnya, orang tua harus serius menanggapinya. 

Beberapa Catatan:

  • Dalam hal kekerasan seksual terhadap anak oleh orang dewasa, anak-anak sangat menderita. Apakah pelakunya homoseksual ataupun heteroseksual, kekerasan seksual terhadap anak tidak boleh terjadi!
  • Dalam hal kekerasan seksual terhadap anak, posisi anak adalah korban. Tidak ada alasan pembenar bagi pedofil untuk melecehkan dan melakukan serangan seksual terhadap anak. Ketika kita terjebak menghakimi anak, misalkan: menganalisis baju yang dipakai anak atau apakah anak berada di tempat tertentu, maka hal itu justru berpotensi melukai korban lebih dalam lagi. Stop Victim Blaming, Now!
  • Anak bukan orang dewasa kecil, Anak adalah anak. Maka ketika seorang dewasa memanfaatkan posisi anak yang lebih lemah secara fisik, lebih rentan terhadap bullying dan kekerasan, lebih sedikit pemahaman terhadap situasi, dan berbagai “kelemahan” lainnya, maka posisi kita adalah di pihak anak yang menjadi korban kekerasan tersebut.
  • Anak-anak perlu dikenalkan sedini mungkin dengan area privatnya, dan bagaimana ia harus melindunginya. Anak-anak perlu kita ajarkan beda sentuhan yang wajar dan tidak wajar. Anak-anak perlu kita ajarkan bagaimana ia bisa menjaga diri dan mengenali situasi / orang yang berbahaya.
  • Anak-anak perlu kita dengarkan suaranya dan kita ajarkan untuk percaya pada hati kecilnya. Sebagian besar korban / tergaet telah “curiga” atau “merasa tidak nyaman” dengan para (calon) pelaku. Kita juga tidak boleh memaksa anak menerima sentuhan yang tidak diinginkannya, walaupun hal itu “wajar” bagi banyak orang. Misalkan: ciuman di pipi.
  • Grooming antara lain terjadi bukan hanya karena kelicikan pelaku, namun juga karena kesempatan. Maka, sebagai orang tua dan anggota masyarakat, apabila kita mengenali sosok yang mencurigakan di sekitar kita, yang kita lihat perilakunya mengarah pada pendekatan seksual ((pendekatan tak wajar) pada anak, maka perlu kita mengingatkan (target) korban, memberitahu (target) korban melalui orang tua / orang dekatnya, memperingatkan pelaku, atau melaporkannya pada pihak yang berwenang.
  • Konseling dan Terapi “vs” Perawatan Medis. Untuk kasus-kasus apapun kedua pendekatan tersebut sama pentingnya. Maka, pendekatan apapun yang diberikan untuk menolong korban harus berpusat pada kebutuhan dan kondisi korban. Para professional harus mengesampingkan “ego profesi” dan menyingsingkan lengan baju bekerja sepenuh hati demi subjective well being korban
  • Perlindungan Hukum. Kita semua berharap hukum negeri kita bisa diberikan dengan berpihak penuh pada korban dan memberikan rasa keadilan pada korban, bukan hanya semata berdebat tentang pasal-pasal yang kita orang awam sulit memahami. Secara pribadi, saya merasa putusan yang diberikan oleh pengadilan untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak masih sangat melukai rasa keadilan kita sebagai manusia. Sebagai awam saya berharap hukum dibuat untuk rasa keadilan manusia, bukan untuk hukum itu semata.
  • Membangun support group untuk para anak-anak, apalagi anak-anak yang telah menjadi korban kekerasan. Dukungan psikis, sosial, spiritual sangat mereka perlukan, bukan cercaan dan penghakiman
  • Berdoa memohon kepada Tuhan untuk melindungi anak-anak dan keluarga kita.

Terakhir, sebagai orang tua dan juga sebagai warga masyarakat yang prihatin oleh fenomena kekerasan seksual terhadap anak, mari kita lakukan sesuai kemampuan kita untuk mencegah jatuhnya kembali korban. Apapun, apapun yang kita bisa. Tidak ada kebaikan yang kecil. Semua kebaikan bernilai mulia di mata Tuhan. Yuk, stop berdiam diri dan mari berbuat semampu kita!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun