Mohon tunggu...
Nurudin -
Nurudin - Mohon Tunggu... -

saya seorang penulis dan pembelajar\r\n\r\nFB: Nurudin \r\nTwitter: @nurudinwriter\r\nYM: nurud70@yahoo.com\r\nBlog: www.nurudin-umm.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Percaya Saya, Saya Bohong di Media Sosial”

4 Juli 2014   22:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:28 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalimat “Percaya Saya, Saya Bohong” (Trust Me, I’am Lying) pernah dipopulerkan oleh Ryan Holiday dalam bukunya Trust Me I’m Lying: Confessions of A Media Manipulator (2012).  Kajian Holiday itu sangat sesuai untuk mengungkap segala bentuk tulisan yang ada di media sosial (facebook, twitter dan lain-lain) dan lembaga survei politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Survei Politik

Keberadaan lembaga survei dianggap penting oleh kandidat atau lembaga politik.  Ia bisa dipakai untuk mengukur elektabilitas seorang calon yang akan bersedia menduduki jabatan politik. Bagi lembaga seperti partai politik (parpol) hasil survei bisa dijadikan dasar untuk memutuskan kegiatan apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan elektabilitas, termasuk   mengetahui apa yang terjadi pada pasaingnya.

Lembaga survei itu dianggap punya kredibilitas  tinggi karena memakai metodologi yang tidak saja bisa dipertanggungjawabkan, tetapi juga dikelola oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Hanya mereka yang mengetahui metodologilah yang mampu mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil surveinya.

Begitu percayanya masyarakat pada lembaga survei, banyak kandidat atau lembaga politik pendukung kandidat memanfaatkan untuk mengetahui sejauh mana elektabilitasnya. Ini untuk ancang-ancang kampanye yang akan dilakukan.

Namun demikian, karena lembaga ini sangat dipercaya, justru bisa digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk meraih ambisi kepentingannya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan lembaga survei bisa “dibeli” kandidiat atau lembaga pendukung untuk memenangkan kompetisi. Begitu gencarnya lembaga-lembaga survei mengumumkan hasil surveinya menjelang Pilpres untuk memengaruhi opini publik. Dari sini seandainya lembaga survei itu disponsori oleh kandidat X (misalnya), lembaga survei akan berusaha menaikkan elektabilitas kandidat X agar masyarakat terpengaruh untuk memilih X. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Meskipun hasil survei bisa dipertanggungjawabkan, secara politik sangat mungkin mempunyai kepentingan atas seorang kandidat, meskipun ada juga yang memang independen. Survei jelas membutuhkan dana besar. Maka lembaga survei itu bisa jadi akan bekerja berdasar “pesanan” yang memberikan dana. Ini tidak bermaksud menuduh, tetapi kecurigaan demikian tetaplah ada. Biar kita tidak bingung dengan cara-cara lembaga survei dan hasil surveinya anggap saja mereka berhohong. Kita bisa meminjam bahasa Holiday, “Percaya saya deh, saya bohong soal survei itu”. Ini untuk mendidik masyarakat  agar  mereka tidak terbuai dengan hasil suvei.

Media Sosial

Jika Anda punya akun di media sosial, sekali-kali amati secara lebih jeli. Anda akan menemukan beberapa karakter sebagai berikut; pertama; orang yang sekadar menyalurkan uneg-uneg, kemarahan dan ketidaksukaan atas Capres lain (kampanye negatif atau kampanye hitam); kedua, orang yang  secara santun menyebar link secara independen tetapi tetap menunjukkan kecenderungan dukungannya; ketiga, orang yang sangat fanatik mendukung Capres secara membabi buta seperti orang gila (kelompok ini tidak peduli apakah yang diinformasikan itu menyakiti teman, saudara atau kelompoknya; keempat, orang yang cenderung selektif untuk menyebarkan informasi seputar Capres; kelima, mereka yang menikmati media sosial tanpa terpengaruh oleh hiruk pikuk Capres.

Media sosial itu adalah media bebas. Pemilik akun media sosial bisa  berbuat apa saja karena tidak ada sensor. Misalnya, mereka bisa mengumpat apa saja, ngomong apa saja, menyebar tautan apapun, mengomentari status atau tautan dengan cara apapun. Di twitter mereka juga bisa menulis beragam kalimat dan mengirimkan foto serta merewteet apa saja yang ia suka. Intinya, apa saja bisa dilakukan tanpa melihat apakah yang dikirimkannya itu benar sesuai fakta atau tidak.

Seorang yang berpendidikan tinggi yang bisa jadi teladan pun bisa terpancing untuk memprovokasi pengguna media sosial, bahkan jauh dari etika berkomunikasi. Mereka tidak mengindahkan apakah yang dikirim itu menyinggung orang lain atau tidak, membuat marah orang lain apa tidak. Ia tak pernah berpikir soal itu. Intinya mereka berbuat sesuai libido politik keinginannya.

Apakah foto profil yang sengaja ditonjol-tonjolkan untuk mendukung Capres tertentu itu tidak disukai teman atau tidak, tak pernah dipertimbangkan secara seksama. Mungkin saja perilakunya itu tanpa sengaja memancing tamannya untuk berbuat serupa pada Capres lain. Temannya bisa jadi hanya mereaksi dukungan seseorang yang terlalu membai buta, yang sebenarnya bukan sifat aslinya.

Begitu beragam informasi yang disajikan lewat media sosial membuktikan betapa masyarakat mempunyai kebebasan berpendapat. Jika kita memakai libido politik, kita akan kebingungan atas perilaku mereka dalam dukung mendukung Capres di media sosial. Yang membuat status atau mengomentari serta yang mengirimkan tautan membabi buta sama-sama terjangkiti libido politik yang kuat. Mereka juga selalu mencari kesalahan Capres lain dengan menutup diri atas kekurangan Capres yang didukung.

Memang, ada yang mengatakan bahwa biarkan saja fenomena dukung mendukung itu terjadi, toh itu hanya peristiwa 5 tahunan. Justru dari sini kita sebenarnya tanpa sengaja menunjukkan sifat asli kita yang lima tahun sebelumnya kita tutupi. Lima tahun ditutupi dihapus dengan sifat asli hanya dalam beberapa bulan menjelang Pilpres.

Untuk lebih gampangnya saja, anggap saja apa yang dikirim oleh pengguna media sosial itu bukan berita yang sebenarnya. Sebab, banyak diantara mereka yang hanya mengumbar libido politik karena punya kepentingan tertentu. Anggap saja mereka sedang bermimpi di siang bolong. Tentu saja, jangan terburu-buru percaya atas apa yang dikirim seseorang di media sosial.

Hal demikian tidak perlu kita lalukan apabila kita bisa cerdas memahami apa yang tersaji lewat media sosial itu. Mereka yang sebenarnya tidak cerdas di media sosial telah mengumbar banyak hal, pengguna lain tentu tidak usah ikut-ikutan. Orang kurang cerdas yang hanya mengumbar informasi “sampah” jangan ditanggapi kalau Anda tidak ingin dianggap tidak cerdas juga.

Maka, sebagaimana lembaga survei anggap saja mereka sedang menyebar berita bohong. Jadi lembaga survei dan aktivis media sosial sedang mengatakan, “Percaya saya deh, saya bohong soal itu”.  Daripada kita kebingungan memahami dan menghadapi perilaku lembaga survei dan aktivis media sosial yang membuat kita bingung, bukan?

Artikel saya ini pernah dimuat di Harian Malang Post (4 Juli 2014).

Korespondensi: @nurudinwriter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun