Dalam sebuah acara resepsi pernikahan, saat itu kebetulan saya hanya berdua dengan anak laki-laki saya, beberapa undangan yang juga merupakan teman-teman se-kantor menyapa saya. Tidak ada yang istimewa dengan sapaannya, bahkan dapat dibilang hanya basa-basi dan candaan belaka. Kepada anak saya, salah seorang teman menyapa “halo anak ganteng, kamu anak siapa ya?”. Teman saya yang lain mengatakan “anak papa-mama lah, gak mungkin anak tetangga”. Mendengar candaan ini saya hanya tersenyum, karena orang lain pun biasa mengatakan seperti ini kepada anak siapa saja. Berbeda dengan pertanyaan basa-basi seperti yang ditujukan kepada anak saya, masalah serius mengenai kepastian orang tua kandung yang dialami oleh seorang anak seringkali harus diselesaikan secara serius melalui tes DNA.
Menurut penjelasan beberapa sumber, tes DNA dilakukan dengan mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA. Pengertian DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) adalah asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus dari manusia. Disamping untuk memastikan orang tua seorang anak, tes DNA juga digunakan untuk pembuktian teroris oleh kepolisian.
Pada dua bulan terakhir, sobat sekalian mungkin mendengar – atau kebetulan mendengar – tayangan infotainment di televisi yang bergosip mengenai kehidupan penyanyi dangdut Ayu Ting Ting dengan suaminya. Pasalnya, setelah Ayu Ting Ting melahirkan anaknya, suaminya justru minta dilakukan tes DNA untuk memastikan orang tua kandung dari anak itu. Sang suami rupanya ragu apakah anak yg dilahirkan isterinya ini adalah anak kandungnya atau bukan. Bukannya memenuhi pemintaan suaminya, sebaliknya dengan enteng Ayu Ting Ting mengatakan “mungkin dia lupa melakukannya sama saya karena kebanyakan sama wanita lain”. Kenapa Ayu Ting Ting menolak tes DNA?, dan apakah yang dikatakan Ayu Ting Ting ini benar?, tentu saja saya tidak tahu – bahkan saya juga tidak kepingin tahu.
Bagi kita yang telah terhegemoni oleh metodologi ilmu pengetahuan modern, hasil tes DNA dipercaya dapat memastikan orang tua kandung seorang anak. Lalu pada zaman dahulu kala, saat belum berkembang lmu pengetahuan modern, bagaimana persoalan perebutan anak dapat diselesaikan?. Untuk mencoba mengetahui jawaban atas pertanyaan ini, secara sederhana saya mengingat-ingat cerita tentang seorang nabi. Sobat sekalian mungkin penah mendengar bagaimana kisah Nabi Sulaiman menyelesaikan kasus perebutan seorang anak.
Alkisah, dua orang ibu yang sedang bekerja di ladang meletakan anak-anaknya yang masih bayi di satu tempat bersama-sama. Saat kedua ibu ini asyik bekerja, tiba-tiba seekor srigala memangsa salah satu bayi. Kedua ibu ini menjadi kaget bukan kepalang ketika selesai bekerja dan hendak mengambil kembali anak-anaknya, ternyata salah seorang bayi telah dimangsa srigala. Dengan rasa paniknya, kedua ibu ini saling mengklaim bahwa bayi yang masih ada adalah anak kandungnya. Hingga akhirnya mereka sepakat penyelesaian perebutan anak ini harus dilakukan melalui pengadilan kerajaan. Kala itu Nabi Daud adalah raja dari kerajaan tersebut, mempercayakan kepada puteranya – Nabi Sulaiman untuk memimpin sidang. Dalam persidangan, Nabi Sulaiman menyatakan akan membelah tubuh si bayi menjadi dua dan masing-masing belahan akan diberikan kepada kedua ibu yang sedang bersengketa. Mendengar itu, ibu pertama setuju hingga kegirangan. Sebaliknya ibu kedua tidak setuju, bahkan ia mengalah agar si bayi tetap hidup dan rela akan menyerahkan bayi tersebut kepada ibu pertama. Jawaban inilah yang menjadi kunci ibu kedua menang di persidangan. Karena logikanya, mana ada sih seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya. Singkat cerita, Nabi Sulaiman pun kemudian mengambil putusan untuk menyerahkan bayi kepada ibu kedua. Kecerdasan Nabi Sulaiman dalam menyelesaikan perebutan anak di zaman saat belum ada teknologi tes DNA menjadi kisah besar hingga sekarang.
Di zaman sekarang ini, modernitas bisa jadi menjadi paham dan gaya hidup sebagian besar masyarakat. Namun di sisi lain, tidak sedikit masyarakat yang masih memegang teguh tradisi yang secara turun temurun diajarkan oleh nenek moyangnya. Dalam kehidupan yang dipenuhi dengan beragam corak dan warna ini, apakah dalam memastikan orang tua kandung seorang anak, tes DNA merupakan satu-satunya cara?.
Dari Komunitas Toro, saya menemukan jawaban atas pertanyaan di atas. Ceritanya saat mengikuti acara di wilayah komunitas ini pada beberapa waktu yang lalu, saya dihadiahi sebuah buku oleh salah satu tokoh adat. Ketika saya membaca buku mengenai permasalahan yang diselesaikan dalam hukum adat, saya menemukan sub bab yang menulis mengenai penyelesaian perempuan yang digauli oleh beberapa laki-laki hingga hamil.
Menurut hukum adat yang berlaku pada Komunitas Toro, jika terbukti seorang perempuan digauli oleh beberapa laki-laki hingga hamil, sedangkan beberapa pelaku tersebut tidak ada yang mau bertanggung jawab untuk mengawini si perempuan, maka keputusan peradilan adat adalah dengan No Patodo. Pengertian No Patodo adalah proses peradilan adat yang dilakukan setelah anak yang dikandung perempuan telah lahi dan sudah bisa berjalan (berumur satu setengah sampai dua tahun). Dalam acara mempenoa, semua pelaku akan dihadirkan. Dalam acara ini, buah pisang diberikan kepada si anak, kemudian dibacakan gene (mantra), setelah itu anak tersebut akan lari menunjuk salah satu dari pelaku. Si pelaku laki-laki yang dibawakan pisang oleh si anak itulah yang akan menjadi bapak dari si anak. Selanjutnya, pemangku adat akan memposes laki-laki tersebut untuk dikawinkan dengan perempuan yang telah digaulinya.
Jadi dalam kehidupan di mana masih banyak orang memegang kuat tradisi nenek moyang, memastikan orang tua kandung seorang anak melalui tes DNA bukan merupakan satu-satunya cara.
Tulisan dimuat juga di Blog Secangkir Narasi Alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H