Pemilihan umum yang pada era Orde Baru dulu banyak dikampanyekan dan dimaknai sebagai pesta demokrasi, namun pada era reformasi sekarang ini, makna ini nampaknya tidak lagi didengungkan. Fakta ini bisa kita jumpai dari iklan yang disampaikan oleh KPU di televisi atau di berbagai media lainnya, yang tidak lagi menyatakan bahwa pemilu sebagai pesta demokrasi. Begitu pun dengan pernyataan para pengamat politik yang juga tidak lagi menggunakan istilah pesta demokrasi.
Merujuk pada kamus bahasa, pesta memiliki arti perjamuan makan minum (bersuka ria dsb); atau dapat juga berarti perayaan. Sedangkan demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia adalah Demokrasi Pancasila. Bila kata ‘pesta’ di sambungkan dengan kata ‘demokrasi’, maknanya memang agak sedikit janggal. Karena kata ‘pesta’ mestinya dipakai untuk merayakan sebuah keberhasilan – misalnya setelah panen padi, atau setelah lulus ujian, dll. Sedangkan Pemilu merupakan sebuah awal untuk menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan, yang belum tentu akan berakhir dengan sebuah keberhasilan atau tidak. Jadi, bagi saya yang awam di dunia politik, penghilangan istilah pesta demokratis dalam memaknai peristiwa Pemilu dapat dimaklumi bila dimaksudkan untuk tujuan yang lebih baik.
Secara substansial, pemilu merupakan peristiwa sangat berharga yang akan menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan. Jika Pemilu menghasilkan para wakil rakyat yang amanah, bangsa ini akan menjadi sejahtera. Sebaliknya jika Pemilu lebih banyak memenangkan para wakil rakyat yang berwatak jahat, nasib bangsa ini akan menjadi sengsara. Namun sayangnya, masyarakat selama ini sangat sedikit menerima pendidikan politik yang baik, sehingga pemahaman secara substansial mengenai makna Pemilu tidak banyak merasuki sanubari masyarakat. Partai politik baru mau bekerja untuk masyarakat, sesaat ketika akan Pemilu semata. Sayangnya lagi, ini pun untuk pencitraan semata agar si calon legislatif atau partainya dipilih, sehingga tidak sedikit dilakukan dengan cara-cara yang kurang mendidik.
Akibat pendidikan politik yang tidak pernah diseriusi inilah, kesan Pemilu sebagai sebuah pesta demokratis masih dirasakan di tingkat bawah. Memaknai Pemilu secara substansial mungkin saja telah dilakukan oleh beberapa orang. Namun yang saya jumpai, nuansa pemilu sebagai sebuah pesta masih nampak ada, bahkan tidak sedikit orang yang menganggap bahwa pemilu merupakan sebuah pesta.
Nuansa pesta pada pemilihan umum terlihat pada saat hari pencoblosan. Di TPS tempat saya mencoblos, layaknya sebuah pesta rakyat, petugas KPPS menghiasi TPS dengan beberapa aksesories warna-warni. Begitu pun dengan pakaian orang-orang yang datang untuk mencoblos, mereka berpakaian rapi dengan motif batik. Setidaknya mereka berpakaian kemeja, dan sedikit sekali yang hanya memakai kaos. Kejutan kecil terjadi saat seseorang – katanya calon legislator – menyapa saya. Pasalnya, pakaian orang ini mulai celana hingga kemeja sama persis dengan yang saya kenakan. Melihat ini, isteri saya mengatakan bahwa pakaian yang kami kenakan terkesan seperti seragam, dan seolah bersaing dengan pakaian seragam yang dikenakan oleh anggota KPPS dengan motif batik yang sama. Nuansa pesta di TPS tempat saya memilih ini mungkin tidak seberapa, bila dibandingkan dengan di TPS yang menyediakan tari-tarian, dan macam lainya.
Pemilihan umum terkesan seperti sebuah pesta, juga tergambar dari orang-orang dalam menyaksikan perhitungan hasil pencoblosan saat di TPS. Bagaimana tidak?, masyarakat bersorak-sorai ketika mendengar Petugas KPPS membacakan keabsahan surat suara satu-persatu. Hingga akhir perhitungan, orang-orang terlihat suka cita menyambut partai apa pun yang menang. Tidak terlihat ketegangan di wajah mereka, sangat kontras dengan ketegangan di wajah beberapa orang saksi yang disiapkan oleh partainya. Apa pun partai yang menang, seolah-olah tidak ada pengaruhnya bagi mereka.
Pasca pemilihan legislatif – 9 April, perbincangan orang-orang di beberapa tempat nyaris tidak lepas dari hasil perhitungan suara versi quick count yang dilansir oleh beberapa lembaga survey. Perbincangan ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang berada di warung-warung kopi, tetapi hampir di semua tempat di mana ada orang-orang berkumpul. Bahkan, anak-anak yang masih sekolah SMP pun membicarakan peristiwa ini. Namun, perbincangan orang-orang ini lebih banyak seputar partai yang menang dan partai yang kalah semata, layaknya membicarakan pertandingan sepak bola. Sedangkan substansi partai, seperti ideologi; visi-misi; platform; program, tidak pernah menjadi bahan perbincangan.
Sebagai penutup. Penghilangan istilah pesta demokratis dalam memaknai peristiwa Pemilu dapat dimaklumi, namun barangkali kita juga harus realistis ketika menjumpai Pemilu masih dipahami sebatas pesta demokrasi. Karena bagaimana pun ia tetap memiliki kontribusi dalam menentukan arah negara. Bukankah ini demokrasi?
Dari: Secangkir Narasi Alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H