[caption id="attachment_205187" align="aligncenter" width="594" caption="Alm. Bapak (barisan tengah paling kiri) bersama kesatuannya"][/caption]
Menjelang HUT RI tanggal 17 Agustus atau Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember, perasaan itu selalu datang mengusik. Ya, perasaan yang tak bisa dilukiskan dalam sebuah kanvas atau pun dijabarkan dengan kata-kata. Tapi cukup diresapi dalam-dalam di dalam relung kalbu. Perasaan rindu sekaligus bangga menyelusup saat membaca lembar-lembar memori akan sesosok wajah yang tak kan pernah lekang oleh waktu.
Bapak. Ya, seorang Bapak yang telah berpulangke rahmatullah hampir 13 tahun yang lalu. Beliau adalah Bapak bagi saya dan saudara-saudara saya. Beliau juga salah seorang pejuang bagi tanah air tercinta.Meski namanya tak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah, namun Bapak adalah salah satu bukti nyata perjuangan pemuda kita melawan penjajah Jepang, tentara NICA serta gerakan separatis di daerah-daerah pasca kemerdekaan RI.
[caption id="attachment_205185" align="aligncenter" width="153" caption="Almarhum Bapak, Kapten (Purn) H.M. Soedjono"]
Dilahirkan di Kediri pada tahun 1926 Bapak yang bernama lengkap Kapten (Purn) H. M. Soedjono hanya mengecap pendidikan sampai Hollandsch-Inlandsche School (HIS) - setara SD - di sebuah kota di Jawa Timur. Lulus dari HIS Bapak bergabung dengan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Beliau langsung angkat senjata mengikuti perang gerilya bersama pasukannya melawan penjajah Jepang. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah kabar gembira bagi seluruh bangsa Indonesia karena perjuangan mereka telah sampai pada titik puncak: Kemerdekaan Indonesia. Tak terkecuali Bapak. Dalam momen yang sangat membahagiakan sekaligus membanggakan karena menjadi salah satu dari sekian banyak pejuang yang berkontribusi dalam Kemerdekaan Indonesia, Bapak menyempatkan diri berfoto. Saat itu usia Bapak 19 tahun.
[caption id="attachment_205186" align="aligncenter" width="336" caption="Alm. Bapak berpose tepat saat Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945"]
Meski kemerdekaan sudah di tangan, tak berarti ancaman penjajah hilang begitu saja. Dalam pertempuran hebat di Surabaya 10 Nopember 1945 Bapak beserta kesatuannya ikut angkat senjata melawan tentara NICA yang membonceng pasukan Sekutu. Salah seorang pimpinan Sekutu Jendral Mallaby tewas dalam pertempuran itu. Arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan Bung Tomo berhasil menggagalkan upaya NICA dan Sekutu untuk merampas kemerdekaan dari tangan bangsa kita.
Di awal-awal kemerdekaan, masih banyak ancaman perpecahan NKRI dari gerakan separatis di beberapa daerah di tanah air. Seperti Pemberontakan DI/ TII, APRA, RMS, Andi Azis, dan yang lainnya. Dalam menumpas aksi gerakan separatis ini Bapak juga ikut ambil bagian mengangkat senjata bersama kesatuannya di Zeni Tempur.
Atas pengabdiannya dalam bela Negara Bapak mendapatkan banyak sekali penghargaan dari pemerintah berupa bintang jasa. Terakhir beliau mendapatkan SK sebagai Pahlawan. Menyesal sekali saya tak sempat mendokumentasikan penghargaan-penghargaan yang Beliau terima. Mungkin ini akan menjadi PR saya ke depannya.
Di akhir hayatnya September 1999, Bapak yang terakhir kali menjabat sebagai Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Cabang Sampang, mendapatkan penghormatan terakhir berupa upacara lengkap dengan tembakan salvo dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di kota itu.
Sebagai seorang Veteran Perang, di masa pemerintahan Orde Baru, meski jauh dari kata memadai bila dibandingkan dengan jasa-jasa Bapak dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI, ada beberapa fasilitas dari Negara untuk kami, anak-anak Bapak. Potongan SPP sampai 50% saat kuliah dengan menunjukkan fotokopi SK Pahlawan dan Kartu Keluarga serta beasiswa Supersemar dengan persyaratan tertentu. Tiap Upacara Peringatan HUT RI dan Hari Pahlawan Bapak bersama rekan-rekan dari LVRI selalu diundang dan mendapat bingkisan dari pejabat pemerintahan setempat.
Alhamdulillah Ibu bekerja, jadi saat Bapak memasuki masa pensiun, anak-anak Bapak yang tak sedikit bisa melanjutkan ke bangku kuliah. Sedangkan teman-teman Bapak sesama anggota Veteran, banyak yang hidupnya melarat. Jangankan menguliahkan anak-anaknya, untuk makan sehari-hari saja pas-pasan. Tapi mereka tak pernah mengeluh apalagi berdemonstrasi untuk menuntut haknya sebagai seorang yang telah berjasa mengantarkan kemerdekaan pada bangsa ini. Suatu sikap ikhlas dan nerimo yang patut menjadi contoh, terutama bagi para pejabat Negara ini.
Itulah sekilas kenangan saya bersama Bapak yang juga seorang pejuang. Kenangan yang selalu datang setiap perayaan HUT RI dan Hari Pahlawan.
Bapak, lantunan do’a ananda akan selalu terukir. Semoga segala perjuangan Bapak untuk membela Negara mengiringi perjalanan menuju surga-Nya. Aamiin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H