[caption id="attachment_249328" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption] Awal Maret yang lalu, 183 ton buah dan sayuran dimusnahkan oleh Balai Besar Karantina Tumbuhan, Kementrian Pertanian.  Salah satu alasan pemusnahan tersebut karena ada kesalahan prosedur,  sayur dan buah yang berasal dari Cina tidak boleh masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Alasan lainya adalah ada kelainan dokumen dan isinya.  Di dokumen tertulis wortel tapi kenyataannya berisi anggur dan juga buah pear.  Padahal Bawang putih yang asalnya dari Cina itu sudah biasa masuk melalui Tanjung Priok.  Akibat perubahan kebijakan itu, rakyat yang menderita, bawang merah/ bawang putih  yang biasanya dijual 6.000-10.000 rupiah per kilo menjadi 60.000-100.000 rupiah per kilo.  Inilah salah satu kebijakan yang salah satunya menjadi biang kemahalan komoditas yang disukai dapur Indonesia.  Saya katakan dapur Indonesia, karena memang hanya Indonesia yang mengkonsumsi bawang putih dan bawang merah dalam jumlah besar, dapur Eropa dan Amerika sedikit saja perlu bawang.  Maksudnya ingin hati-hati, supaya organisme pengganggu tanaman tidak masuk ke Indonesia, tapi akibatnya malah fatal, ibu-ibu jadi ribut karena harga bawang jadi seperti harga daging sapi. Kebijakan lain yang salah yaitu masalah pembatasan impor buah dan sayuran.  Anak kecil juga tahu bahwa bawang putih hanya hidup di daerah subtropik.  Di Indonesia bawang putih sulit tumbuh, atau kalaupun tumbuh biaya produksinya tinggi, karena umbinya kecil-kecil.  Sementara itu bawang merah yang dapat tumbuh subur di Brebes dan sekitar Tegal, mengalami kebanjiran akibat hujan dan pasang laut. Bawang putih dari Cina umbinya besar-besar, biaya produksinya murah, sehingga dijual di Indonesia hanya sekitar 10.000 rupiah per kilonya.  Itu sebabnya, impor Bawang putih Indonesia mencapai 90-95 persen.  Pembatasan Impor buah dan sayur memang ditujukan untuk memajukan petani lokal, tapi seharusnya disiapkan dulu petaninya, teknologinya, jangan ujug-ujug impor dibatasi tapi produk lokal juga belum memadai. Produk impor sebanyak 183 ton yang dimusnahkan itu memang bukan komoditas bawang merah dan bawang putih, tetapi berupa wortel, buah pear dan anggur.  Namun, dampak pemusnahan itu jelas membuat importir jadi berpikir dua kali sebelum mengimpor lagi buah dan sayur ke Indonesia.  Kementan sepertinya kualat, di tengah rakyat yang kekurangan buah dan sayuran, eh kok malah memusnahkan.  Terlepas dari legal atau tidaknya barang impor itu, sebaiknya tengok dulu bagaimana kondisi rakyat ini.  Kalau memang produk lokalnya sudah mencukupi untuk kebutuhan lokal, ya silahkan saja memusnahkan komoditas buah/ sayur impor itu. Seharusnya, Kementan juga mempersiapkan dulu kondisi petani Indonesia, apakah sudah siap dengan teknologinya, demikian juga kondisi iklim dan cuaca, apakah sudah cocok bagi alam Indonesia.  Kementan sepertinya ingin hati-hati setelah ada kasus impor daging sapi, tapi kehati-hatian itu malah merugikan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H