Mohon tunggu...
Nur Tjahjadi
Nur Tjahjadi Mohon Tunggu... profesional -

Bebas Berekspresi, Kebebasan Akademik, Bebas yang bertanggung jawab...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pendidikan yang Baik, Berawal dari Rumah

20 Februari 2013   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:59 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan yang baik berawal dari rumah.   Kalau anak-anak di rumah dididik dengan baik, maka di sekolah dan di masyarakat mereka akan menjadi anak-anak yang baik dan setelah besar mereka juga tidak akan menjadi beban bagi masyarakat.  Walaupun ada juga anak yang sudah dididik dengan baik di rumah tapi tetap menjadi anak yang kurang baik.  Saya beruntung dilahirkan sebagai anak ketujuh dari sebelas bersaudara.  Beruntungnya adalah saya dapat belajar dari buku catatan kakak dari sejak SD.  Jadi sebelum pelajaran itu diajarkan di sekolah, saya sudah pelajari dulu bahan pelajaran itu di rumah.

Guru saya di rumah adalah ibu saya yang memang mempunyai latar pendidikan sekolah guru dan juga kakak-kakak saya yang sering mengajari saya.  Tapi ibu saya lebih memilih menjadi guru di rumah dibandingkan menjadi guru di sekolah.  Mungkin karena adat istiadat jaman dulu, bahwa seorang suami akan tersinggung kalau istrinya juga bekerja sebagai wanita karir.  Suami takut dibilang tidak mampu memberi makan anak istrinya.  Ketika ibu saya berniat untuk mengajar di sekolah, maka bapak saya berkata kalau ibu saya bekerja, maka bapak saya yang akan menjaga anak-anak di rumah.  Itu sebabnya hingga kini ibu saya tetap memilih untuk tinggal di rumah.

Pelajaran kelas 1 SD hingga kelas 3 SD yang paling susah adalah membaca dan berhitung.  Saya ingat waktu mulai belajar menghitung dengan menggunakan jari tangan, kalau kurang jari kaki pun digunakan untuk menghitung, kalau masih kurang juga pinjam jari tangan dan jari kaki kakak saya.  Wah repot juga kalau harus pinjam jari tangan dan kaki teman-teman di sekolah.  Akhirnya saya dibuatkan lidi yang dipotong-potong hingga 100 batang.  Dengan itulah saya belajar berhitung, penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.

Pelajaran berhitung di kelas 4, 5 dan 6 SD sudah mulai susah, terutama soal cerita.  Tetapi bagi saya, soal cerita yang susah-susah itu tidak ada masalah sebab semua soal-soal yang akan diterangkan guru di sekolah sudah diajarkan terlebih dulu oleh ibu atau kakak saya di rumah.  Jadi, ketika datang ke sekolah saya sudah tahu apa yang akan di ajarkan di kelas.  Guru saya juga heran, anak ini kok sudah tahu duluan ya walaupun belum diterangkan.

Kadang-kadang saya membantu teman-teman yang belum mengerti pelajaran yang belum dimenegrti.  Kadang-kadang juga penjelasan dari teman itu lebih mudah ditangkap dan dicerna oleh sesama teman dibandingkan penjelasan dari guru.  Sehingga tak jarang teman-teman SD saya itu memnaggil saya Profesor.  Kebiasaan “mencuri start” seperti itu terus saya lakukan juga di SMP, SMA hingga saya kuliah di luar negeri.

Waktu saya kuliah S2, usia saya sudah 30 tahun, sedangkan teman-teman saya adalah fresh graduate yang baru lulus Bachelor degree.  Di Inggris BSc (Bachelor Science) dapat langsung meneruskan ke jenjang Master Degree (MSc). Saya sering mengajarkan teman-teman S2 saya itu tentang soal-soal statistik dan perancangan percobaan.  Di Inggris, pelajaran statistik dan perancangan percobaan terasa terlalu sulit bagi mereka, jadi waktu saya jelaskan, mereka kagum banget sampai mereka panggil saya Doktor Nur, bahkan ada juga yang panggil saya profesor Nur.  Bukan itu saja, warisan laporan-laporan praktikum dan tugas-tugas dari kakak kelas (orang indonesia yang sebelumnya kuliah di tempat yang sama) banyak membantu saya.  Pengalaman saya “mencuri start” sewaktu di SD saya terapkan juga ketika saya ambil program S2 di Inggris.  Hasilnya, teman-teman saya itu kagum banget, padahal kalau dia tahu trik saya, mungkin mereka biasa-biasa aja kali ya.

Selama 25 tahun mengajar di PTN dan menjadi PNS, belasan mahasiswa saya sudah menjadi Profesor, saya sendiri tidak terlalu bernafsu mengurus naik pangkat, sebab setelah mau naik pangkat justru bekas murid sendiri yang menjegal.  Tiba-tiba rombongan Profesor dari Malaysia menawari saya untuk mengajar di Malaysia serta memberi saya  gelar profesor itu, dengan gaji (saat itu) hampir 10 kali lipat, maka kesempatan itu saya ambil.

Kata orang, panggilan itu doa, saya yang sejak SD sudah dipanggil Profesor, begitu juga teman-teman S2 saya yang sering memanggil saya dengan gelar profesor,  akhirnya dapat juga gelar itu.  Gelar profesor yang saya dapat tanpa mengajukan dengan urusan naik pangkat yang ribet, setelah itu dapat gaji yang sepuluh kali lipat, kalau rejeki tidak akan kemana-mana.

Semoga pengalaman cara belajar saya yang mendahului teman (mencuri start) dapat menginspirasi teman-teman yang masih belajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun