Gambar dari Google Sebagai lelaki panggilan, penghasilannya memang tidak seberapa. Sekali pakai cuma sepuluh ribu perak atau paling banter limabelas ribu.   Tetapi ia cukup puas, dalam sehari ia boleh dipanggil 10 kali hingga lima belas kali. Pelanggannya dari mulai ibu2 muda hingga nenek2, kelihatannya juga cukup puas. Pokoknya sama2 puas, kata Mang Ja'i, nama si lelaki panggilan itu. Mang Ja'i adalah supir bajaj. Para pelanggannya sering meledek dia dengan sebutan lelaki panggilan. Dengan HP model kuno ditangannya. Mang Ja'i selalu siap memenuhi panggilan ibu2 yang minta diantar ke puskesmas, ke pasar, atau ke sekolah. Ibu2 muda biasanya memanggil Mang Ja'i untuk minta diantar ke sekolah, menjemput anak pulang dari sekolah atau mengantarkan ke sekolah pada pagi harinya. Sekolahnya memang tidak terlalu jauh, tetapi kalau jalan kaki cukup pegal juga kaki, kata ibu2 muda yang mau menjemput anaknya ke sekolah. Ibu2 setengah tua biasanya minta diantar ke pasar, entah itu ke pasar Santa, pasar pagi di jalan Kebalen, atau pasar Menek di jalan Bakti atau ke pasar blok M. Sedangkan Nenek2 biasanya sering minta diantar ke puskesmas atau klinik 24 jam. Sebagai lelaki panggilan, pangkalan Mang Ja'i memang cukup strategis, yaitu di pangkalan bajaj jalan Bakti Kebayoran Baru. Di pangkalan bajaj itu juga ada bengkel bajaj. Maklum, bajaj yang beroperasi biasanya bajaj yang tergolong sudah sepuh alias tua bangka. Dari pangkalan bajaj itulah Mang Ja'i mengantar ibu2 muda ke sekolahan di SD Selong atau SD Rawa Barat. Ibu2 muda itu rumahnya di sekitar jalan Suren, jalan Bakti, Jalan Senopati, Kertanegara, Empu Sendok dan sekitarnyalah. Atau mengantar nenek2 ke puskesmas Selong atau Klinik 24 jam atau ke pasar Santa, pasar Menek dan pasar Blok M. Jarak tempuhnya memang tidak terlalu jauh, dari rumah masing2 pelanggan ke tempat tujuan mereka masing2. Ibu2 muda, ibu2 setengah tua dan nenek2 biasanya cerewet2, kata Mang Ja'i. Yach..kita jadi pendengar yang baik aja, kata Mang Ja'i cengengesan. Kalo nggak gitu, nanti langganan saya pada kabur. Yang sering curhat sih nenek2 kata Mang Ja'i. Sering mengeluh, yang sakit encoklah, yang badannya pada pegel2 karena asam urat, atau sekedar flu ringan biasa. Maklum, musim hujan nih, asma mereka juga sering kumat, kata Mang Ja;i lagi. Sebagai lelaki panggilan, Mang Ja'i juga sering berpikir tentang hari tuanya. Dia tidak akan dapat pensiun, kalau tak bekerja ya berarti tak dapat uang juga. Makin hari dirinya makin tua, bajajnya juga semakin renta, sebulan sekali sudah harus turun mesin. Untung montir2nya temen sendiri, kadang ongkos kerjanya gratis, cuma bayar onderdil. Kadang onderdilnya juga pake bekas punya orang yang nggak dipake lagi, diakal2in aja supaya bisa idup lagi, kata Mang Ja'i. Ketika ditanya, apa harapan Mang Ja'i di masa tuanya ? Yang penting hidup saya tenang, tidak punya hutang, anak sudah bekerja semua, sudah kawin semua. Kalo mati, maunya juga sambil senyum, kata Mang Ja'i yang rajin pergi ke Mesjid Nurul Huda yang terletak di depan bengkel bajajnya. Begitulah kisah hidup sederhana lelaki panggilan, Mang Ja'i namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H