Mohon tunggu...
Nur Tjahjadi
Nur Tjahjadi Mohon Tunggu... profesional -

Bebas Berekspresi, Kebebasan Akademik, Bebas yang bertanggung jawab...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demonstrasi Bayaran, Gejala Demokrasi Tidak Sehat

1 September 2010   07:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:32 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demonstrasi organizers sudah jadi bisnis yang lumayan di sekitar perkotaan di Jakarta dan sekitarnya.  Pengelola demonstrasi mendapat pesanan paket lengkap untuk unjuk rasa.  Biaya minimal nya antara 1,5 - 2 juta rupiah untuk menggerakkan massa sebanyak 25-30 orang.  Peserta demonstrasi mendapat Nasi bungkus plus uang saku 30 ribu rupiah.  Peserta demo dibawa dengan metro mini, diberi arahan sekedarnya, supaya tidak kosong sama sekali, sehingga ada sedikit pengetahuan tentang apa yang mau didemo.  Harus teriak2 begini, begitu, sampai tidak boleh mengganggu ketertiban umum supaya tak ditangkap polisi.

Bagi pengangguran yang hidup di kota Jakarta, duit 30 ribu plus nasi bungkus sudah lumayan ngisi perut yang keroncongan dan uang saku sekadarnya.   Pihak yang memerlukan peserta demo dapat sekaligus memesan peralatan demo seperti spanduk,  pengeras suara, pengangkutan, pelatihan atau pesan sebagian2 saja.

Pengelola demo tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang akan dicapai.  Tugas dia hanya menyediakan aksi demo saja.  Tujuan demo biasanya untuk menjatuhkan lawan politik, pemimpin politik, atau untuk kampanye pemilihan calon presiden, calon gubernur sampai calon bupati atau walikota.

Di negara maju, demonstrasi adalah luahan dari hati nurani sendiri, tanpa ada bayaran apapun, tetapi lebih karena keinginan yang kuat untuk suatu perbaikan.  Itulah demokrasi yang sebenarnya, dari rakyat untuk rakyat.

Celakanya, di negara yang belum maju, demonstarsi bayaran sudah menjadi bisnis yang merebak.  Kita tidak bisa melarang bisnis yang semacam itu.  Karena memang sebetulnya masyarakat belum siap dengan alam demokrasi yang sebenarnya.   Urusan perut jadi alasan utama.  Kalau perut kosong disuruh apa saja pasti mau saja.  Tetapi, apakah ini sehat untuk perkembangan demokrasi ?

Kadang2 orang yang mengerti politik justru sering merusak citra demokrasi itu sendiri.  Mereka2 juga yang membayar atau membiayai demo2 politik.  Akhirnya yang ada democrazy.  Untuk menutupi kesalahan dan kekurangan diri sendiri dibuat demo2 anti ini, anti itu, dan sebagainya.  Rakyat miskin yang tak tahu apa2 disuruh demo, disuruh teriak2, disuruh macam2.  Semua itu dilakukan demi perut.

Etika, moral dan sopan santun sering dijual dan digadaikan demi mencapai tujuan politik tertentu.

Kasihan..., mau mengadu, mengadu kepada siapa,....auk ah gelap...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun