(Gambar dari Google) Dari hasil jual es, keuntungan Rp 200,- per hari saya tabung sebagian. Kalau sudah agak banyak saya setor ke TABANAS, tabungan pembangunan nasional di bank dekat rumah. Dalam waktu beberapa bulan Tabanas saya sudah mencapai Rp 15.000,- Lalu uang ini saya belikan alat charger accu (aki). Dengan uang segitu cuma dapat alat charger dengan kapasitas 2 aki per 5 jam. Padahal kalau hari Jumat dan Sabtu banyak aki-aki yang antri minta disetrum (dicharge). Maklum saja tahun 70-an listrik masih merupakan barang mewah. Untuk nonton TV orang yg belum pasang listrik harus pakai aki. Aki harus disetrum ulang setiap 5 hari sekali. Menjelang malam minggu orang ramai-ramai mencas aki mereka. Mereka tidak mau ketinggalan nonton film akhir pekan di TVRI. Saat itu ya cuma ada TVRI saja. Stasiun TV swasta belum ada. Karena banyak aki-aki yang antri minta disetrum, maka kakak saya yang jago elektronik, 'membongkar' alat charger aki itu. Dari kapasitas charging 2 aki per 5 jam menjadi 20 aki. Cara kerja alat charger aki seperti adaptor yang merubah arus AC menjadi DC. Setelah perombakan alat dari kapasitas 2 aki menjadi 20 aki, orang2 yang datang menyetrumkan akinya semakin banyak saja. Maka kakak saya membuat satu lagi alat charger. Maka penghasilan saya juga semakin banyak. Dari Rp 200,- per hari menjadi Rp 10.000,- Maka saya pun pensiun dari jualan es. Saya alih profesi. Saya jadi tukang setrum aki-aki.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H