Mohon tunggu...
Nur Tjahjadi
Nur Tjahjadi Mohon Tunggu... profesional -

Bebas Berekspresi, Kebebasan Akademik, Bebas yang bertanggung jawab...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pers dan Pemerintah Saling Menyalahkan

10 Oktober 2010   23:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_285577" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Terjadinya ketegangan hubungan RI - Malaysia Agustus lalu, akibat adanya adegan saling salah menyalahkan antara Pers dan Pemerintah.  Pemerintah menuduh pers bukannya mendidik masyarakat tetapi malahan memanas-manasi suasana.  Sementara pers sendiri melakukan hal begitu karena pemerintah tidak mau terbuka.  Pemerintah tidak jujur dengan situasi yang ada.  Kerajaan Malaysia juga tetap tutup mulut, ketika coba dihubungi untuk wawancara.  Demikian harian "The Jakarta Post" melaporkan kemarin, di sini : http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/07/local-media-%E2%80%98-blame%E2%80%99-tense-rimalaysia-ties.html Wakil menteri luar negeri RI mengatakan, media lokal cenderung membesar-besarkan masalah, tidak seperti pers Malaysia yang adem ayem.  Dia juga menyarankan agar media harus berimbang dalam menyiarkan berita. “Sorry to say, many of our media outlets tend to add fuel to the fire, heating the situation up, instead of educating our public" katanya pada acara diskusi dalam rangka meningkatkan hubungan bilateral Indonesia - Malaysia di Hotel Borobudur Jakarta.  Acara ini diselenggarakan oleh Kedubes RI untuk Malaysia di Kuala Lumpur. Namun demikian, ia membenarkan bahwa  pers di Indonesia lebih bebas ketimbang pers Malaysia. Di Malaysia, pers dikontrol oleh Kerajaan, wartawan yang coba menulis nyeleneh akan berakhir di ruang tahanan (penjara). Sebelumnya, beberapa demonstrasi marak digelar di Jakarta dan sekitarnya, sebagian mengobarkan api peperangan, dengan slogan "ganyang Malaysia".  Ini terjadi akibat polisi Malaysia telah menangkap tiga pegawai negeri sipil Indonesia yang telah pula menangkap nelayan Malaysia yang melanggar batas perairan Indonesia. Beberapa demonstran malah ada yang sampai membakar bendera Malaysia, hubungan kedua negara jiran ini bahkan sampai kepada titik terendah selama sepuluh tahun terakhir ini. Menanggapi tuduhan itu, pers Indonesia menuduh bahwa Pemerintah RI telah memberikan info yang salah kepada media.  Sementara kerajaan Malaysia tetap tutup mulut tanpa mau diwawancarai. Arief Suditomo dari RCTI sudah berulang kali menelpon, meng sms, meng email Kerajaan Malaysia tanpa pernah ada jawaban. Sementara Tarman Azam dari Dewan Pers mengatakan, bahwa pns yang ditangkap itu telah minta uang kepada nelayan Malaysia.  Mengapa hal ini tidak dilaporkan secara jujur sejak awal, katanya.  Kalau dari awal sudah terbuka, tentu pers juga tidak akan memblow up permasalahan ini. Jadi permasalahannya adalah ketertutupan pemerintah terhadap informasi yang akurat.  Sehingga pers berbuat semaunya, sampai pada akhirnya semua terbongkar. Pers seharusnya menjadi tiang keempat dari lembaga trias politika, yudikatif, eksekutif dan legislatif.  Yang terjadi justru sebaliknya, pers seolah-olah mau merobohkan lembaga resmi yudikatif, eksekutif dan legislatif.  Hampir semua kebijakan lembaga resmi pemerintah itu dikritik habis-habisan setiap hari.  DPR yang suka jalan2, Jaksa dan hakim yang gak bener, SBY yang begini, begitu. Nah kalau sudah begitu, apa yang bisa diharapkan dari pers dalam sumbangannya membangun negeri Indonesia. Tercinta (?).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun