[caption id="attachment_251991" align="alignright" width="200" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Kalau saya SBY, Adji Suradji anggota TNI AU yang mengkritiknya, akan saya jadikan penasehat presiden atau minimal juru bicara presiden, mengapa ? Karena di masa sekarang ini sangat jarang seorang bawahan mengkritik pemimpinnya, atau bahkan hampir tidak ada lagi bawahan yang demikian. Apa yang disampaikan Adji sebetulnya biasa2 saja dalam sebuah kepemimpinan di organisasi dimana seorang anggota melakukan usul, kritik atau bahkan koreksi terhadap bosnya.
Hanya saja, di alam yang katanya demokratisasi dijunjung tinggi ini, hal demikian masih merupakan barang langka.
Penyampaian kritik, usulan atau koreksi kepada presiden harus prosedural. Misalnya kalau Adji seorang anggota TNI AU, kritikan Adji ini harus disampaikan kepada Komandan atau atasan langsungnya, kemudian atasan langsungnya kepada atasan yang di atasnya lagi, kemudian di atasnya lagi hingga ke presiden. Kritikan harus melembaga, prosedural, dimana celakanya, kalau ikut prosedur yang betul, saran atau kritik itu akan masuk tong sampah. Atasan langsungnya, mana berani meneruskan kritikan Adji ke atasan2 selanjutnya. Itu namanya bumerang. Senjata makan tuan.
Orang yang berani mengeritik kita adalah orang yang sangat sayang kepada kita. Sedangkan orang yang menjilat2 kita biasanya hanya cari keuntungan sesaat, dimana setelah si pemimpin itu tadi jatuh, ia akan pergi meninggalkannya. Cinta yang hampa... Ia akan pindah ke lain hati, ke pemimpin yang baru untuk berkhidmat, menjilat demi kedudukan baru yang akan diterimanya.
Padahal, justru sipengeritik itulah mungkin yang akan menyelamatkan dia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, si penjilat akan menjerumuskannya ke dalam api neraka dunia dan akhirat. Namun sayang, orang sering berbuat sebaliknya, si pengeritik justru akan menghadapi sanksi organisasi, kenaikan pangkatnya ditunda, dibuat tidak betah, hingga akhirnya dipecat.
Sampai kapan kita dapat menempatkan sebuah kritikan itu sebagai sebuah kritikan yang membangun, bukan kritikan yang menjatuhkan? Yaitu sampai orang yang dikritiknya itu (dalam hal ini SBY selaku Presiden RI) dapat memberikan suasana yang kondusif, sehingga siapa saja dapat menyampaikan pendapatnya, terang2an atau sembunyi2.
Berikut adalah isi artikel Adji yang menghebohkan itu :
Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan Oleh: Adjie Suradji Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan. Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain. Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan. Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional. Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan. Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas? Keberanian Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan. Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri. Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya. Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi? Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya? Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela). Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini. Adjie Suradji, Anggota TNI AU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H