Mengingat keberagaman suku bangsa, budaya, dan bahkan adat istiadat di Indonesia tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kita mengenal secara mendalam mengenai keberagaman ini. Â Namun pada kesempatan kali ini saya ingin sedikit mengulas mengenai upacara tradisional "Perang Obor" yang berasal dari Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Unik bukan? Jika dilihat dari segi konteks namanya, tentu ini menjadi hal yang tampak aneh. Dimana kata obor sendiri biasa digunakan masyarakat pada umumnya untuk sekedar menerangi halaman di malam hari, namun ketika di sandingkan dengan kata perang atau budaya perang obor ini tentu memicu pertanyaan besar bagi masyarakat yang awam.
Mencoba melihat dari sisi historis nya budaya ini di namakan Perang Obor karena setelah dinyalakannya obor (terbuat dari gulungan pelepah kelapa yang sudah kering kemudian diisi dengan daun pisang kering ) kemudian terjadi saling serang antar warga yang mengakibatkan munculnya percikan percikan api. Budaya ini biasa di lakukan pada senin pahing, atau malam selasa pon.
Jika di lihat dari sisi kegiatannya saja atau hanya dimaknai secara lexikal tentu kita tahu bahwa perang obor ini tidak terlepas dari kata api. Terlepas dari itu peperangan atau kegiatan saling serang dengan melibatkan api tentu sangat berbahaya, ini juga bisa memicu hal-hal seperti kebakaran, dan luka bakar pada tubuh. Namun kembali pada tujuan kita kali ini yang berusaha memaknai budaya dengan konsep hermeneutika. Kita harus melihat dari latar belakang masyarakat dan tujuan. Apa makna atau alasan di laksanakanya budaya perang obor ini. Bukankah tidak mungkin kegiatan ini terjadi tanpa ada suatu maksud dan tujuan. Apalagi jika di lihat dengan mata biasa tentu sangat berbahaya.
Dari salah satu sumber terpercaya situs Wikipedia dan kemdikbud  mengatakan bahwa Perang Obor merupakan transmisi kebiasaan atau keyakinan dari generasi ke generasi sejak abad XVI. Pada situs itu juga tertulis bahwa tradisi perang obor didasarkan atas legenda Ki Gemblong yang dipercaya oleh Kyai Babadan untuk merawat dan menggembalakan ternaknya. Namun karena kelalaian Ki Gemblong, Kyai Babadan memukul Ki Gemblong dengan obor dari pelapah kelapa yang justru di ikuti Ki Gemblong sebagai bentuk pembelaan diri. Namun hal tak terduga benturan kedua obor menyebarkan api di tumpukan jerami dan ternak yang awalnya sakit justru menjadi sembuh. Kepercayaan terhadap api pada obor yang mampu mendatangkan kesehatan dan menolak bala inilah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan upacara Perang Obor.
Dilihat dari segi tujuan atau makna pelaksanaan budaya ini sebagai bentuk ekspresi atau ungkapan terima kasih dan rasa syukur atas panen yang melimpah dan penangkal bencana. Kegiatan ini dinyatakan  berakhir apabila hanya tersisa seorang peserta yang masih bertahan. Masyarakat percaya hal ini sebagai simbol memerangi kejahatan dan mengusir penyakit. Dari sini pentingnya kita meninjau suatu hal dengan kacamata yang luas. Sehingga dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman diantara sesama yang mungkin bisa menimbulkan peperangan saudara antar suku bangsa.Â
Sudah seharusnya kita bangsa Indonesia untuk terus bersatu dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Mari kita lestarikan bumi kita Indonesia Raya dengan melestarikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia sebagaimana simbol kesatuan kita "Bhineka Tunggal Ika" Berbeda beda tetapi tetap satu jua. Demi sebuah kata sebagai pemersatu bangsa dan Negara. Merdeka!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H