Mohon tunggu...
nur sukma mulyati
nur sukma mulyati Mohon Tunggu... -

saya adalah anak sulung dari lima bersaudara yang terlahir dari ibu siti umrah dan bapak abubakar. saya pernah menempuh jenjang pendidikan di sdn rada. kec. bolo. kabupaten bima. setelah lulus sd saya melanjutkan sekolah menengah pertama saya di smp N 3 bolo dan tiga tahun kemuadian saya lulus dan melanjutkan ke SMA N 1 bolo. sekarang saya sedang menempuh jenjang pendidikan S1 di universitas mataram, mengambil jurusan ips, prodi ppkn.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

“Di Balik Nama Negara Merdeka”

20 Maret 2015   10:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:23 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sudah merdeka selama 69 tahun, usia yang cukup tua bagi suatu negara yang seharusnya sudah bias dikatakan merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Ya… merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain, bebas dari ketidak adilan, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan, dan bebas dari segala-galanya.

Apakah kemerdekaan itu sudah dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia?

Semuanya memang membutuhkan proses, tapi Indonesia sudah menagalami perjalanan yang cukup panjang disertai dengan berbagai cerita di dalamnya. Jika dilihat dari perjalanan yang cukup panjang ini, negara Indonesia belum bias dikatakan merdeka. Sejak meproklamasikan kemerdekaan sampai sekarang masalah yang di hadapi tetap sama dan belum ada yang bisa di pecahkan. Padahal system pemerintahan dan pemimpin Negara ini sudah beberapa kali berganti ,tetapi belum ada yang membawa Indonesia dalam kemerdekaan yang sesungguhnya.

Ketidakadilan, kesejahteraan rakyat yang di sepelekan, korupsi, pendidikan, menjadi PR utama bagi pemerintah.

Di Negara ini rasanya sangat sulit untuk mendapatkan keadilan karena hokum yang berlaku “tumpul keatas tajam kebawah”, hanya orang-orang yang beruang saja yang bias mendapatkan keadilan, sedangkan yang tidak memiliki uang hanya bias gigit jari, sungguh ironis. Contohnya kasus nenek asyani yang di vonis 5 tahun penjara hanya karena mencuri 7 batang kayujati, kasus spele yang seharusnya bisa di selesaikan dengan cara kekeluargaan tetapi berakhir dengan jeruji besi. Dimanakah keadilan di negeri ini?

Jika di bandingkan dengan kasus-kasus korupsi yang merugikan Negara triliunan rupiah membutuhkan proses yang lama bahkan bisa di lupakan, “tikus-tikus” pemakan uang rakyat bebas berkeliaran walaupun sudah di di tetapkan sebagai tersangka dan pemberian hukumanya pun tergolong ringan hanya beberapa tahun saja. Adilkah sesorang yang mencuri 7 batang kayu jati di hokum setara dengan “tikus- tikus“ pemakan uang rakyat? Ada apa dengan hokum Indonesia?

Kesejahteraaan rakyat banyak di sepelekan, anggaran pemberdayaan pengemis, pemulung, pengamen, anakyatim, dan kaum fakir miskin yang terlantar tidak jelas arahnya kemana, apakah di cairkan atau di korupsi. Mereka yang diserahi amanat untuk mengurus negeri ini telah menjadi lintah bagirakyatnya sendiri, mereka korup, menjadi komprador investor asing yang menjadi predator penghisap darah bangas Indonesia.

Jika dimasa lalu pemimpin kita rebut memperdebatkan gagasanya, sekarang mereka rebut memperdebatkan uang dan kekuasaan. Jika dahulu para pemimpin memegang prinsip menjadi pemimpin itu menderita, sekarang mereka mengukuhi diri menjadi pemimpin itu menikmati, mereka tidak mau bekerja melainkan menikmati hak-hak yang bukan menjadi haknya. Inilah realitas pemimpin saat ini, yang telah memperkuat prinsipnya “kami bukan pemimpin melainkan penguasa”.

Perlu kita pertanyakan kemana semua anggaran itu, rakyat Indonesia masih tetap tidak bias menikmati kesejahteraan tetapi hutang Negara semakin besar, apakah ini yang dinamakan negara yang merdeka?

Banyak anak-anak Indonesia yang kehilangan pendidikan dan bahkan tidak bias mengenyam pendidikan karena keterbatasan ekonomi. Walaupun sudah ada yang namanya sekolah gratis tetapi pelaksanaanya belum merata, nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang tidak bersekolah. Mereka hanya mengenal bekeja dan bekerja walau hanya untuk 1 rupiah. Padahal mereka tinggal di kota besar dan di ibu kota Negara dekat dengan pemerintah, tetapi kemana orang-orang? Kemanakah pemerintah? Bahkan yang di dekatnya pun mereka tidak tau dan perduli apalagi yang di pelosok negri?.

Di tengah kota besar, pusat perekonomian, pusat pemerintahan sekaligus ibu kota Negara masih ada rumah yang tidak layak huni, tetapi mereka masih bias tersenyum tanpa ada perasaan ingin meminta bantuan dari siapapun apalagi pemerintah. Katanya Negara merdeka.. ternyata di kota besar masih banyak yang tidak mendapatkan keadilan dan kesejahteraan.

Rakyat Indonesia menggantungkan harapan besar kepada pemimpin baru Negara ini. Rakyat sudah jenuh dengan keadaan negara yang masih jauh dari harapan yang katanya negara Indonesia adalah negara yang merdeka, pada kenyataanya sampai sekarang kemerdekaan yang sesungguhnya belum di rasakan oleh rakyat Indonesia. Kami berharap pemerintahan sekarang menghantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun