Dari dulu sampai sekarang, gulai pakis bercampur udang  merupakan salah satu menu kesukaan keluarga kami.
Gulai Pakis buatan Emak
Meskipun hampir setengah abad di rantau, Â minimal satu bulan sekali saya harus membuat gulai pakis bercampur udang. Momen ini saya jadikan sebagai penawar rindu pada masa kecil.
Namun gulai pakis buatan almarhum Emak sedikit beda dengan made in saya, yang kuahnya agak encer cuman dengan sedikit kelapa, tidak terlalu pedas, dan dibubuhkan tomat, menyesuaikan dengan kesukaan suami.
Sementara bikinan Emak dibuat kelapanya banyak hingga kuahnya kental,  pakai cabe rawit  pedasnya melangit, plus asam kandis. Tanpa tomat tanpa penyedap, dan pastinya nol gula. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana pedasnya jika dihadapkan dengan lidah anak dan cucu-cucu saya saat ini.
Namun rasa pedas cabe rawit itu  memberikan sensasi tersendiri. Makin dimakan kian enak. Kami tak pernah komplain. Bahkan adik usia 3 tahun pun dikasih, meski menangis saat kepedasan, setelah diberi minum dia minta disuap lagi.  Ha ha ha ....
Kenangan di balik gulai pakis dan udang
Selain penawar rindu, ada kenangan tak terlupakan di balik gulai pakis dan udang tersebut. Zaman itu pakis dan cabe rawit diperoleh gratis. Kapan butuh tinggal cari di seberang kali, naik  sampan tanpa pendayung, cukup dikayuh pakai tangan saja.  Udangnya ditangguk sendiri dalam sungai.
Singkat kata, Â semasa itu untuk kebutuhan sehari-hari banyak yang grais-gratis. Tidak terkecuali telur dan daging ayam yang hasil keluarga. Kayu bakar ambil di hutan. Belanja yang lain-lain cukup seminggu sekali setiap hari pekan.
Penutup
Kini semuanya tinggal cerita. Semak-semak yang pada zamannya tempat tumbuh suburnya sayuran pakis dan cabe rawit liar, kini beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Air sungai yang dulu bening, kini keruh sewarna tanah. Tak tahu apakah ikan dan udangnya masih mampu bertahan hidup atau tidak. Allahu alam bish shawab.