Tomat adalah salah satu tanaman yang tergolong ke dalam dua fungsi. Yaitu sebagai buah dan sayuran. Kok bisa? Ya, bisalah.
Pasalnya, tahun 1893 Mahkamah Agung Amerika pernah terlibat dalam perdebatan. Apakah tomat dikenakan pajak buah atau pajak sayur. Akhirnya Hakim Horace Gray menyimpulkan dengan pernyataan, secara botanika tomat adalah buah. Tetapi dalam bahasa umum masyarakat, bisa juga disebut sayur. (Republika.co.id, 01 Juli 2020).
Anggap saja  berdebatan "buah atau sayur" ini sebagai intermezo. Sebab, yang akan saya perbincangkan di sini adalah mengenai harga tomat dan nasib petaninya.
Beda tipis dengan cabe, tomat ini cendrung gila-gilaan. Pada musim-musim tertentu harganya bisa mencapai Rp 15-20 ribu per kilo. Di lain masa terpelanting ke angka Rp 1.000-1.500. Kasian petani. Sangat tidak seimbang dengan biaya operasionalnya. Malahan merugi.
Saat lagi murah, di daerah kebun saya Kecamatan Batang Merangin Kerinci, buah yang bernutrisi tinggi ini sering dibuang di pinggir jalan raya. Bukan sedikit, berkarung-karung.
Tetapi, sebulan terakhir. Petani tomat bisa tersenyum lebar. Nilai jual tomat stabil Rp 10 ribu per kilo di pasar-pasar tradisional.
Tanggal 1 Juli lalu saya dan cowok gantengku naik motor pergi ke Kota Sungai Penuh. Kira-kira 800 meter sebelum memasuki kota, ketemu petani sedang panen tomat. Tepatnya di daerah persawahan Desa Cangking, persisnya di pinggir jalan raya.
Buah tomat yang telah dikemas dalam peti kayu berjejeran di pinggir jalan. Lima pekerja (2 bapak-bapak, 3 emak-emak) sibuk memetik dan mengangkut hasil panen dari lahan ke penumpukan.
Sebelumnya, setiap lewat di sana kebun kecil ini menjadi perhatian saya. Tanamannya gonta ganti. Kadang-kadang ditanami bawang, sesekali cabe, adakalanya kacang tanah. Sekarang dipenuhi tanaman tomat.
Saya minta si kakek berhenti sebentar, sekadar mengambil foto. Ternyata pemiliknya seorang anak muda sepantaran 30-an tahun.