Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak Angkatku Suamiku

2 Juli 2020   20:28 Diperbarui: 2 Juli 2020   20:46 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi.

Nama fiktifku Yeni. Sejak kelas 3 SD aku tinggal bersama keluarga Pak JR dan istrinya Bu HW. Orangtua dan 4 adikku diam di sebuah gubuk dekat pinggiran kota.

Pak JR dan Bu HW punya 2 anak cowok. Kelas 3 dan  kelas 1 SD. Dua-duanya kuanggap adik. Karena di segi  fisik gede aku.

Pak JR seorang  pejabat penting di salah satu instansi pemerintah provinsi. Isterinya Guru Sekolah Dasar. Mereka mendambakan anak perempuan.

Banyak kalangan menyarankan agar  mereka memungut anak perempuan. Katanya untuk pancingan.

Saat  itu ibu kandungku bekerja pada keluarga Pak JR sebagai tukang cuci. Suatu hari Bu HW menyampaikan keinginannya pada ibu, untuk menjadikan aku anak angkatnya.

Kalau orangtuaku setuju dan aku mau, suami istri itu berjanji akan menyekolahkan aku sampai lulus sarjana dan bekerja sebagai Pegawi Negeri.

Jadilah aku malaikat penyelamat dalam keluarga Pak JR.  Entah apa yang ada di benakku saat itu, sehingga aku nunut saja. Ingin jadi anak orang kaya? Tidak.  Kelak akan sekolah tinggi dan bergelar sarjana? Belum terbayang sama sekali.

Setiap hari aku dikasih uang jajan dan makan yang enak-enak. Aku juga disediakan 1 kamar lengkap  dengan tempat tidur dan lemari pakaian.  Hal ini belum pernah kuperoleh selama tinggal bersama orangtua kandungku.

Setelah aku naik kelas 6,  Ibu angkatku hamil dan melahirkan bayi perempuan. Lengkaplah kebahagian keluarga Pak JR dan Bu HW.

Karena ibu kandungku  tak lagi bekerja di sana, aku mengambil alih tugasnya mencuci pakaian.

Kelas 1 SMP aku sudah pandai mengerjakan sebagian pekerjaan rumah tangga. Pagi subuh  bangun. Sebelum ke sekolah cucian selesai. Pulang sekolah memasak bersama Ibu.  

Kedua orangtua dan adik-adik angkatku sayang padaku. Terutama Bapak. Ketika aku menyelesaikan cucian yang agak berat, seperti  celana jean dan sprai, Bapak membantuku memeras dan menggelarkannya ke jemuran.

Ibu angkatku punya  hobi mudik. Bapak sekadar mengantarkan saja  pakai mobil. Berangkat  Sabtu sore, Senen pagi harus masuk kantor.  Beberapa hari kemudian dijemput lagi.

 Sesekali aku dan 2 adik lelakiku juga diajak. Yang tak pernah tinggal si cewek bungsu. Tradisi itu merupakan agenda rutin bagi Ibu.  Khususnya saat libur sekolah.

Suatu malam, musim libur semester genap. Aku baru naik kelas 3 SMP. Bapak mengetuk kamarku. Begitu pintu dibuka, beliau berbaring di tempat tidurku sambil merintih. Katanya kurang enak badan. Minta dibijitin. Ya, aku bijit.

Tiba-tiba beliau merangkul  dan menggerayangi tubuhku. Aku ketakutan. Badanku gemetar hebat, dadaku berdebar-debur.  Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Tetapi beliau membujuk aku supaya tenang. Takut kedua adik cowok di kamar sebelah bangun.

Dalam hitungan menit,  kehorkatanku runtuh dan hancur berkeping-keping. Besoknya aku malu menatap muka Bapak. Anehnya, beliau tambah sayang padaku.

Perbuatan terkutuk itu terjadi berulang-ulang. Tidak lagi menunggu jadwal ibu mudik. Asal ada kesempatan kami melakukannya. Rahasia ini bocor setelah aku lulus SMA.

Ibu marah besar. Aku dan Bapak diusir. Beliau menitipkan aku di rumah orangtuanya. Seminggu kemudian kami menikah secara siri.

Di kantor, suamiku telah terdepak dari jabatannya tersebab cacat moral. Berkat perjuangan beliau, aku diangkat jadi PNS berdasarkan ijazah SMA. Satu  instansi dengan beliau.

Belum dua tahun aku berdinas,  suamiku meninggal mendadak akibat serangan jantung. Beliau pergi ketika aku hamil 4 bulan. Kini Putra tunggalku tumbuh menjadi cowok ganteng. Berstatus mahasiswa tahun ke dua di salah satu Universitas Negeri kota ini.

Kisah ini kutulis bukan bermaksud membongkar aib orang lain. Semoga jadi pembelajaran bagi wanita bersuami. ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun