Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Cara Gampang Menghindari Sakit Hati Karena Hinaan

31 Mei 2020   04:52 Diperbarui: 1 Juni 2020   14:24 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biarin orang ngomong apa. Paling kuatnya sebulan. Setelah itu mereka bosan sendiri ...

Demikian inti dari curhat karib saya Inda, bukan nama sebenarnya. Saat itu dirinya dihina orang sekampung  atas sikapnya yang tidak lazim. Diam-diam wanita 48 tahun itu menggugat cerai suaminya dan memilih menikah dengan pria lain. Padahal  suaminya masih sayang.

Alasannya, 23 tahun  berumah tangga mereka menjalani Long Distance Marriage (LDM). Saumi yang berdomisili di negeri seberang, enggan pulang ke kampung isterinya. Sebaliknya isteri ogah ikut suami.

Paling bertemunya 1 kali dalam 5 tahun. Kadang-kadang suami nyamperin isteri, adakalanya isteri  beranjang sana ke tempat suami barang sebulan dua bulan. Syukur mereka dikaruniai 3 anak.

Spontan, Inda menjadi buah bibir orang sekampung.  Termasuk dibenci oleh anak-anaknya.  Tetapi dia menghadapinya dengan enteng. 

Birain orang ngomong apa. Paling kuatnya sebulan. Setelah itu mereka bosan sendiri. Yang penting apa yang saya lakukan baik menurut saya. Tidak melanggar agama dan etika.  Karena saya yang menjalani. Bukan mereka.

Saya salut pada Inda. Ucapannya terbukti seratus persen.  Hebohnya hanya dalam hitungan minggu. Habis itu masyarakat sudah lupa. Mungkin karakter orang Indonesia itu memang mudah lupa.

Pengalaman saya, tahun 1976 saya difitnah oleh keluarga sendiri. Saya dituding melakukan  sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan saya.  Saya dihujat orang sekampung habis-habisan.  Orangtua saya dicaci maki.

Saya benar-benar stress, sehingga seperti orang senewen. Siapapun yang  ikut menyebarkan fitnah tersebut, saya serang. Malam-malam saya bergulat melawan imsonia.

Maklum zaman itu komunikasi sangat minim. Tak ada pula orang  atau sanak keluarga yang mengarahkan agar masalah itu dibawa ke jalur hukum. Saya dan orangtua buta hukum. Diperparah pula ekonomi yang sangat lemah.

Lagipula di kampung, apabila kita dalam keadaan terjepit, kucing kurap pun ikut menghimpit. Sepuluh ribu kali pun kita benar, mereka tetap berpihak kepada orang banyak yang mengaggap kita salah.

Ternyata ributnya cuman beberapa minggu. Setelah  itu, situasi aman terkendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun