Setelah istana mengumumkan Indonesia positif terinfeksi Corona, Senin (2/3), sebagian penduduk Indonesia panik berjemaah. Khususnya masyarakat perkotaan.
Hal ini tampak, mereka "kalap" berbelanja di toko. Mulai membeli bahan makanan dalam porsi besar, sampai memborong serta menimbun barang produk hand sanitazer dan masker.
Permintaan masker yang tinggi membuat harganya meroket hingga 5-8 kali lipat. Padahal dengan tegas Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto mengatakan bahwa penggunaan masker hanya berlaku bagi orang sakit.
Rupanya imbauan Menkes tersebut tidak digubris oleh sebagian masyarakat. Buktinya, sampai sekarang para pemburu masker masih berjibaku.
Syukur, saat ini stok masker sudah bisa dikendalikan. Harganya tidak lagi semahal sebelumnya. Ulasan lengkapnya lihat di sini.
Wajar masyarakat perkotaan itu mudah panik. Sebab karakter mereka terbentuk dari mobilitas yang tinggi membuat mereka capek, dan stress hingga melakukan hal yang tak biasa.
Terlebih tersiar pula kabar bahwa sampai saat ini virus yang mematikan ini belum ditemukan obatnya. Kecuali mengupayakan pencegahan. Salah satunya yang bisa mereka lakukan dengan mengenakan masker dalam beraktivitas sehari-hari.
Di sisi lain masker susah di dapat, berbagai jenis masker pun digunakan. Mulai masker bedah, N95, sampai masker dari bahan kain. Bahkan 3 hari lalu beredar di media sosial, seorang driver ojol menggunakan masker anti nuklir model nyamuk.
Sebaliknya, kepanikan menghadapi rumor virus mematikan ini tidak terlihat pada masyarakat pedesaan. Khususnya di daerah saya. Tak ada aksi panic buying. Tiada pula antrean di toko sembako atau apotek untuk membeli masker dan hand sanitizer. Semua harga tetap stabil.
Bagi masyarakat desa, cairan antiseptik bukan syarat mutlak untuk mencuci tangan. Cukup pakai sabun saja. Yang penting rajin cuci tangan, seperti dikampanyekan oleh guru di sekolah-sekolah.
Bukan berarti orang kampung kurang informasi tentang virus yang awal beredar di Wuhan, Cina ini. Di Masjid-masjid malah dijadikan tema khotbah Jumat.