Salah satu syarat mutlak jadi wartawan atau jurnalis adalah mempunyai pikiran terbuka dan berwawasan luas. Agar kelak dia mampu berkomunikasi dengan nara sumber dari berbagai latarbelakang.Â
Singkat kata, seoarang wartawan dikenal sebagai pribadi yang pintar, kaya ilmu, dan selalu mengikuti perkembangan zaman.
Di mata sebagian orang kampung, sosok wartawan itu selalu identik dengan kamera bergayut di leher, bertopi, Â simple, lues, gagah, kekinian, dan disegani.Tak heran, banyak anak muda yang mendaulat dirinya sebagai wartawan.
 Background mereka pun beraneka ragam. Mulai yang berpendidikan tinggi sampai belum lulus SMP.
Saya pernah tertawa dalam perut. Ada orangtua yang ngaku anaknya jadi wartawan di kota A. Semua orang tahu riwayat pendidikan sang putra. Tidak lulus SMA karena dari SD hobinya  bolos. Baca tulis saja kurang lancar.
Di daerah saya, individu seperti ini suka bergentayangan di sekolahan, menakut-nakuti Kepala Sekolah dengan cara mengorek-ngorek dana yang dikelola sekolah. Ujung-ujungnya minta uang rokok.
Sebagian besar Kepala Sekolah memakluminya. Kadang-kadang ada Kepsek Raja Tega. Begitu sang wartawan masuk ruangannya, cepat-cepat dia ngasih amplop. Tujuannya supaya si tamu cepat kabur. Isinya cuma Rp 5 ribu.
Pengalaman saya, tahun 2008 pernah didatangi segerombolan anak muda. Jumlahnya 8 orang. Â Mereka mengaku gabungan LSM dan wartawan entah apalah namanya saya tidak terlalu peduli. Semuanya cowok gayanya meyakinkan.
Ini adalah kunjungan ke sekian belas kalinya oleh tamu sejenis. Dengan oknum dan "media bayangan" berbeda.
Sampai di pekarangan sekolah, 5 orang langsung ke kelas. Terus menginterviu guru yang sedang mengajar. Sisanya  masuk kantor menemui saya.
Salah satunya mengenalkan diri, Â seraya menunjukkan identitas kewartawannanya berlogo media yang tidak jelas. Biasanya memang begitu. Saya tidak terlalu ambil pusing mereka berasal dari media mana.