Malahan individu yang tidak punya keturunan sedih dan khawatir, apabila kelak dia meninggal tiada yang meratap. Terlepas dari entah itu khawatir benaran atau sekadar wujud keputusasaan.
Penduduk setempat menganggap menangis  adalah bagian terpenting dalam sebuah upacara pemakaman.
Ketika kerabatnya meninggal, ada orang yang tak bisa menangis. Atau keluarga almarhum berada jauh di rantau. Mereka menyewa kelompok pelayat bayaran untuk meratap dan menangis  di pemakaman. Semakin besar upacaranya, semakin mahal "tangisan" mereka dibayar.
Rakyat setempat menghabiskan uang untuk upacara pemakaman mencapai 20.000 dolar AS, atau Rp 288,4 juta. Sama banyaknya dengan biaya pesta pernikahan. Upacara tersebut harus menampilkan pengiring jenazah sebanyak mungkin. Biasanya untuk menarik pengiring, bakal dipasang pengumuman di billboard.
Selain itu, agar pemakamannya sangat meriah, pihak penyelenggara menggunakan peti mati artistik, hingga pembawa peti yang bisa menari. Grup  pelayat sendiri kadang bisa menentukan berapa tuan rumah harus membayar mereka. Tentu saja penyewa jasa pelayat ini dipastikan sangat kaya raya.
Keberadaan pengiring jenazah profesional dapat pula menguntungkan finansial keluarga mendiang. Sebab, bisa mendapatkan tambahan dana dari orang yang datang dan berpartisipasi di pemakaman. Â
Hal ini didukung oleh sikap pelayat bayaran. Mereka  sangat profesional dalam menangis membuat orang bersimpati, sehingga memberi uang duka lebih banyak.
Konon pelayat bayaran ini sudah ada sejak kurang lebih 2.000 tahun lalu, pada zaman Romawi kuno. Semasa itu, mereka diminta datang untuk mengungkapkan kesedihan dengan menangis hingga menyobek baju, bahkan sampai mencakar wajahnya sendiri. Semakin banyak para pelayat profesional yang hadir, keluarga yang berduka akan dianggap terpandang.
Demikian tradisi masyarakat Ghana dalam menyelenggarakan jenazah. Aneh bin unik bukan? Salam dari Pinggir Danau Kerinci.
****
Pustaka: Â [satu], [dua]. [tiga]