Berutang membuat hidup tak nyaman. Terlebih setelah jatuh tempo, karena berbagai hal peminjam tak mampu melunasi sesuai kesepakatan awal. Dampaknya, bunga pinjaman terus berbunga. Buntutnya, utang membengkak lalu meletus memuntahkan konflik. Baik antar peminjam (debitur) dan yang memberikan pinjaman (kreditur), maupun dengan diri sendiri.
Mari kita intip kembali 2 Â kisah berikut ini:
1. Lantaran telat membayar utang, FY Â seorang karyawati setiap hari diintimidasi melalui gawainya oleh sorang penagih utang Peer to Peer (P2P) Lending (pinjaman online), "Mbak, kan, lagi kesusahan uang nih, enggak bisa bayar utang sampai 10 aplikasi diutangin, ya, kan? Saya kasih solusi, nanti saya anggap lunas. Mbak, mau langsung enggak usah bayar full. Mbak enggak usah ngeluarin duit. Utang Mbak saya langsung anggap lunas, gimana? Gini deh mbak, lu gua beli aja deh, harga lu berapa sih? Lu gua beli, lu telanjang, lu joget-joget, gue bayar utang lu, semuanya gua bayarin, gimana?" (tirto.id, 11/11/2018) Â Â
2. Ditulis oleh tribunnews.com/regional, 14/06/2019, Tak mampu bayar utang 250 Juta, Hori (42), asal Lumajang, Jawa Timur menggadaikan istri sahnya kepada Hartono (40).
Ini hanya secuil gambaran betapa dahsyatnya konflik sosial yang timbul oleh utang piutang. Belum lagi kasus-kasus lain. Seperti saling bunuh antar individu terkait, melakukan aksi konyol bunuh diri, bahkan anak isteri pun diajak mati, sampai ke saling gugat di pengadilan.
Kadang-kadang, utang-piutang juga berpotensi memicu perceraian antar suami isteri, mengundang permusuhan antar sahabat, antar tetangga, antar paman dan keponakan.
Kejamnya lagi, utang-piutang adakalanya dapat memutuskan silaturrahmi anak dan orangtua kandung, antar saudara sedarah sedaging.
Dampak negatif sengketa piutang itu tidak hanya merugikan debitur. Pihak kreditur pun tak kalah hancur. Sudah uangnya tidak kembali, tak sedikit juga mereka dihabisi oleh oknum peminjam.
Maaf, bukan bermaksud menyombongkan diri. Saya sering menjadi pihak yang dirugikan oleh pengutang tak bertanggung jawab. Pelakunya malah sahabat dan kerabat dekat saya.
Ketika meminjam, janjinya semanis gula. Lebih lembut gigi daripada lidah. Alasan kegunaannya pun bervariasi. Nambah modal jualan, buka kebun, sampai ke pesta pernikahan anak.
Kepada mereka tidak dikenakan bunga sepersen pun. Harapan saya supaya mereka bisa berkembang.
Bertahun-tahun baru ditagih.  Apa yang saya dapati?  Ada yang berjanji dan berjanji. Ada pula yang membangga diri, semasa dia kaya banyak membantu keluarga. Matanya melotot, mulutnya mengericau ngajak berantem. Yang  pura-pura lupa juga ada. Lama-kelamaan ngaku juga.
Sampai detik ini kasus-kasus tersebut sirna begitu saja. Satu darinya, jangankan berkunjung, nelepon saya pun dia tiada lagi. Sepertinya dia lebih memilih memutuskan silaturrahmi daripada membayar utang.
Kasus ini tentu berbeda dengan sepak terjang pengusaha besar yang utangnya mencapai triliunan rupiah? Saya tidak berkompeten mengulasnya.
Saya juga tidak berhak mengatur orang lain bagaimana cara yang baik dalam mengelola utang. Tetapi, berdasarkan pengalaman pribadi, ada 2 kiat ampuh memerdekan diri dari konflik utang- piutang.
1. Memberi Atas Nama Sedekah
Sekiranya kita punya dana, siapa pun yang minjam berikan semampu dan seikhlasnya. Niatkan dalam hati, apakah atas nama sedekah, nyumbang, atau mengeluarkan zakat.
Dengan demikian mereka terbantu, kita berkesempatan menyemai bibit pahala. Ketimbang dikasih ngutang berbuah sengketa.
2. Bisikkan pada Diri Sendiri, Utang itu Hak Orang Lain
Berutang bukanlah sesuatu yang haram. Sehebat dan sekaya apapun manusia, asal dia waras, pasti pernah terkait utang piutang. Karena dalam hidup ini tiada manusia yang sanggup memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri tanpa bantuan pihak lain. Termasuk saya.
Jangankan kita sebagai individu, negara pun berutang untuk membangun negara. Asal tahu aturannya.
Bisikkan pada diri sendiri, bahwa barang atau uang yang diutangi itu milik orang lain. Kepada pengutangnya melekat kewajiban dan tanggung jawab untuk mengembalikannya sesuai kesepakatan antar kedua pihak.
Andai tidak ditunaikan, berarti harta peminjamnya dikotori oleh  hak orang lain. Belum lagi menghadapi peradilan di  Yaumil Mahsyar.
Oleh sebab itu, bayarlah utang sebelum konflik datang. Atau teguhkan diri agar  tidak berutang. Terlebih jika pemasukan tidak selaras dengan pengeluaran, alias besar pasak daripada tiang. Nasehat orang tua-tua, "Ukurlah bayang-bayang sepanjang badan."
Inilah dua tip sederhana untuk menjauhkan diri dari sengketa utang piutang. Semoga bermanfaat. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H