Bertahun-tahun baru ditagih.  Apa yang saya dapati?  Ada yang berjanji dan berjanji. Ada pula yang membangga diri, semasa dia kaya banyak membantu keluarga. Matanya melotot, mulutnya mengericau ngajak berantem. Yang  pura-pura lupa juga ada. Lama-kelamaan ngaku juga.
Sampai detik ini kasus-kasus tersebut sirna begitu saja. Satu darinya, jangankan berkunjung, nelepon saya pun dia tiada lagi. Sepertinya dia lebih memilih memutuskan silaturrahmi daripada membayar utang.
Kasus ini tentu berbeda dengan sepak terjang pengusaha besar yang utangnya mencapai triliunan rupiah? Saya tidak berkompeten mengulasnya.
Saya juga tidak berhak mengatur orang lain bagaimana cara yang baik dalam mengelola utang. Tetapi, berdasarkan pengalaman pribadi, ada 2 kiat ampuh memerdekan diri dari konflik utang- piutang.
1. Memberi Atas Nama Sedekah
Sekiranya kita punya dana, siapa pun yang minjam berikan semampu dan seikhlasnya. Niatkan dalam hati, apakah atas nama sedekah, nyumbang, atau mengeluarkan zakat.
Dengan demikian mereka terbantu, kita berkesempatan menyemai bibit pahala. Ketimbang dikasih ngutang berbuah sengketa.
2. Bisikkan pada Diri Sendiri, Utang itu Hak Orang Lain
Berutang bukanlah sesuatu yang haram. Sehebat dan sekaya apapun manusia, asal dia waras, pasti pernah terkait utang piutang. Karena dalam hidup ini tiada manusia yang sanggup memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri tanpa bantuan pihak lain. Termasuk saya.
Jangankan kita sebagai individu, negara pun berutang untuk membangun negara. Asal tahu aturannya.
Bisikkan pada diri sendiri, bahwa barang atau uang yang diutangi itu milik orang lain. Kepada pengutangnya melekat kewajiban dan tanggung jawab untuk mengembalikannya sesuai kesepakatan antar kedua pihak.