Sempat digaungkan tahun 2016, gagasan presiden Joko Widodo merekrut rektor dari luar negeri untuk memimpin Perguruan Tinggi  di tanah air, kini mencuat kembali. Langkah tersebut diambil pemerintah untuk meningkatkan mutu Perguruan Tinggi  di Indonesia, agar mampu bersaing di level Internasional.  Hal ini menuai pro dan kontra  dari berbagai kalangan.
Dikutip dari sumbernya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyayangkan wacana tersebut. Menurutnya, gagasan ini kontraproduktif dengan misi Presiden Jokowi memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri.Â
Lain Hikmahanto Juwana  beda pula Prof Dr Zakiyuddin.  Rektor IAIN Sala Tiga itu  menyambut positif gagasan tersebut. Dia menilai perkembangan  dunia pendidikan sekarang sulit dipisahkan dengan perkembangan global.
"Ini memang perlu dicoba hanya saja harus terbatas tidak langsung menyeluruh pada PTN-PTS di Indonesia. Lalu, yang tidak boleh hilang adalah amanat undang-undang tugas PT itu memenuhi hak dasar kebutuhan pendidikan warga negara," katanya. Lengkapnya klik di sini.Â
Tidak ada yang salah dan tiada pula yang benar seratus persen pendapat kedua akademisi tersebut. Masing-masing mereka punya alasan kuat. Yang jelas, setiap aksi pasti ada reaksi.
Apabila rencana tersebut dieksekusi, tentu banyak hal yang mesti dipertimbangkan, mulai dari masalah penggajiannya yang jauh lebih tinggi  dan menyerap dana super besar, sampai ke kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial di kalangan rektor dan dosen dalam negeri.
Sebaliknya, pemerintah kita juga harus berani keluar dari zona nyaman. Mengingat selama 10 tahun terakhir negara telah menggelontorkan dana pendidikan begitu besar. Yaitu 20% dari total anggaran belanja dan pendapatan negara. Namun out putnya belum sesuai dengan harapan.
Saya tidak mengulas persoalan ini  lebih detail. Karena saya bukan pakarnya. Tetapi, polemik ini membuat pikiran saya mundur ke zaman ketumbar dahulu.
Semasa tinggal di kampung, setengah abad yang lalu, saya bangga pada diri sendiri. Juara umum saya yang pegang. Baca Al-Quran  tak terkalahkan oleh siapa pun. Pendek kata, rasanya sayalah orang terpintar sekampung."Seperti katak di bawah tempurung."
Setelah bersentuhan dengan dunia luar, saya terperangah. Seujung rambut dibelah tujuh pun tak sanggup menyaingi  kehebatan orang lain. Bersekolah di luar daerah, caturwulan pertama saya menduduki rangking kelas nomor dua terakhir.
Saya malu pada diri sendiri. Mulai saat itu saya sadar bin tobat, bahwa saya sebenarnya orang bodoh dan harus belajar lebih banyak lagi. Â