Dia bercerita bagaimana dirinya melewati masa kritis di tahun-tahun pertama suaminya menikahi perempuan ke tiga. Tengah malam menangis  merangkak-rangkak di tempat tidur.Tanpa  diketahui siapa-siapa. Tidak juga oleh anak-anaknya. "Malam terasa amat panjang. Terbayang oleh saya bagaimana mereka bermesraan di ranjang pengantin. Mak ...! Hati saya pedih bagai diiris," akunya.
Ini baru perkara rindu dan cemburu. Yang tak kalah peliknya, ketika malam-malam anak sedang sakit. Menangis tak henti-hentinya, sambil memanggil-manggil ayah. Â Duit belanja yang tidak mencukupi. Hati isteri mana yang tidak hancur, coba.
Konflik batin  tidak hanya dipikul oleh isteri. Anak-anaknya pun ikut terbebani. Di sekolahan mereka di-bully teman sebaya. "Udah. Jangan  sok merayu. Bapakmu banyak bini. Pasti penyakitnya menular ke kamu."Â
Ejekan ini saya dengar sendiri. Sebenarnya mereka mungkin bercanda. Tapi di wajah korbannya tampak kekecewaan yang amat dalam. Belum lagi kendala lain, batandang (tradisi Kerinci ngapel cewek pada malam hari), cewk tidak membukakan pintu.
Barangkat dari pengalaman hidup dua pertiga abad usia saya, sulit rasanya hati kecil ini  mengakui bahwa tujuan berpoligami bagi seorang laki-laki tidak semata untuk memenuhi keinginan syahwat seks belaka. Tetapi menyangkut banyak kepentingan. Salah satunya melindungi hak perempuan (korban nikah siri), dan hak anak-anak  yang dilahirkannya. Maaf kalau saya salah.
Namun saya setuju saran Bang Wahyudi Hardianto, dalam artikelnya "Ber-(Poligami)-lah", agar tidak menolak poligami sebagai sebuah konsepsi atau aturan syariat.
Sekarang kaum adam tinggal pilih, membina atau membahagiakan keluarga yang sudah ada atau manambah rumah tangga baru. Tolong juga diingat, kebanggaan seorang isteri adalah tatkala suaminya tidak berbagi hati dengan wanita lain. Salam  akhir pekan.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H